Beberapa hari menjelang bulan Ramadan, terbaca di sebuah linimasa sebuah unggahan yang menyamakan Ramadan layaknya bulan penuh perlombaan. Bahkan, bulan berkah ini diibaratkan layaknya olimpiade, yang harus membuat siapapun yang berada di dalamnya meraih kemenangan.
Analogi Ramadan sebagai ajang olimpiade, membuat orang harus berlatih sejak bulan-bulan sebelumnya. Berlatih puasa sunnah, berlatih bangun dan mendawamkan salat malam, hingga berlatih membiasakan diri duduk berjam-jam demi mengkhatamkan bacaan Al-Quran.
Harapannya, ketika datang Ramadan, amalan ini akan dengan mudah dilakukan demi pahala yang berlipat ganda. Keberhasilan inilah yang dipersamakan dengan “medali emas” olimpiade, yang diraih oleh para atlet yang rajin berlatih sebelum tiba waktunya bertanding.
Barangkali tidak salah jika menempatkan Ramadan sebagai bulan spesial, yang membuat seseorang harus memiliki ketahanan lebih dalam beribadah dibandingkan bulan-bulan yang lain. Apalagi, dengan adanya ganjaran pahala yang berlipat ganda, orang akan semakin gencar mengincar “medali emas” Ramadan.
Baca Juga : KEBESARAN BULAN RAMADHAN
Sobat keren, tentu tidak salah menempatkan Ramadan sebagai ajang “olimpiade” dalam beribadah. Sebagaimana supremasi tertinggi dalam olahraga adalah ketika seorang atlet meraih medali emas olimpiade, Ramadan juga didapuk menjadi bulan yang paling diharapkan memberikan “tabungan” pahala bagi umat muslim.
Namun di saat yang sama, bukankah kita juga pernah melihat bahwa tak sedikit para pahlawan olahraga itu pulang kembali ke negaranya dengan kondisi yang tetap merana. Ia hanya dibanggakan sesaat ketika memenangkan pertandingan. Dikalungkan medali, mendapat bonus, diarak keliling kota seharian dan berbagai pujian lainnya. Setelahnya, ia kembali ke rumah sebagai orang biasa.
Bukankah kita juga pernah membaca dan mendengar nasib para atlet terdahulu yang kini hidup seadanya, karena sama sekali tidak ada yang membekas dari pujian-pujian ketika meraih kemenangan di masa lalu. Medali emas, bonus, pujian dan arak-arakan tidak dilakukan sepanjang usianya. Melainkan hanya sebuah perayaan sesaat dan hilang dengan cepat.
Maka bayangkan, jika Ramadan yang masih kita nikmati saat ini juga hanya ditempatkan sebagai ajang perlombaan untuk meraih kemenangan yang kasat mata. Tak sedikit orang yang hanya ingin khatam Al-Quran sekali, dua kali bahkan lebih. Banyak juga yang menargetkan puasa halangan, tarawih selalu ada, atau salat lima waktu selalu di masjid.
Baca Juga : RAMADHAN YANG BEBERKAT DAN AL-QUR’AN
Tapi, apa setelahnya?
Tak sedikit orang yang hanya menjadi hamba Ramadan, alih-alih ingin menjadi hamba Allah yang sesungguhnya. Setelah meraih kemenangan dengan berbagai ibadah di bulan Ramadan, ia kembali kepada kebiasaan santainya dalam beribadah. Tidak ada lagi puasa, tidak perlu lagi melangkah ke masjid, membaca Al-Quran seingatnya.
Memang tak salah menjadikan Ramadan sebagai bulan perlombaan. Namun, kita punya pilihan untuk menjadi atlet yang tetap konsisten berlatih setelah pertandingan selesai, atau berhenti dan terlupakan begitu saja setelah euphoria kemenangan yang sesaat.
Kita masih punya waktu untuk memperbaiki pilihan. Apakah Ramadan ini hanya akan kita lewati dengan khatam Al-Quran, tanpa menjadi seseorang yang berakhlak Al-Quran di sebelas bulan yang lainnya? Apakah bulan Ramadan ini akan kita lewati dengan memaksakan kaki melangkah ke masjid ketika tiba waktu salat, namun kembali sibuk dengan dunia di bulan-bulan setelahnya?
Atau, kita akan menjadikan bulan Ramadan ini justru sebagai ajang latihan, agar terbiasa dengan ibadah yang konsisten ketika Ramadan telah berakhir.
Baca Juga : Golongan yang Dilaknat Allah Meski telah Menjalani Ramadan