KEYAKINANKU, UJIANKU

KEYAKINANKU, UJIANKU

KEYAKINANKU, UJIANKU

Thuhfah Husyiari

June 10, 2020

Assalamu’alaikum sobat keren,

Saya masih duduk di bangku SD kelas tiga, ketika kami sekeluarga harus pindah ke Nusa Tenggara.  Aktivitas pindah domisili yang sudah menjadi kebiasaan, karena tugas ayah sebagai Muballigh Ahmadiyah yang harus diemban. Dari Sulawesi Tenggara ke Nusa Tenggara Barat, ternyata menjadi pengalaman traumatis yang cukup berat.

Tak pernah terpikir sebelumnya bahwa adaptasi yang bagi saya sudah biasa, kali ini menjadi berbeda dari biasanya. Semua bermula ketika salah satu teman sekolahku datang berkunjung ke rumah. Alih-alih bermain atau belajar, pandangan teman saya justru terkunci pada jajaran foto-foto para Khalifah. Itulah awal dari perundungan yang selanjutnya selalu kuterima, dari teman-teman sekelas yang lainnya.

Setiap saya masuk ke ruang kelas, teman-teman selalu menghujamkan sindiran-sindiran yang pedas. Tatapan sinis, cibiran sadis, seolah mereka menginterogasi keyakinan yang sudah terpatri dalam hati. Karena keyakinan ini, saya pun tak pernah ragu untuk mengatakan, “Iya, saya Ahmadi.”

Sebuah keberanian yang berujung pada perundungan. Tak jarang saya hanya bisa pasrah tanpa balas meskipun terdengar kalimat-kalimat yang kurang pantas, “Orang Ahmadiyah nyembahnya WC!.”

Beberapa kali pun saya harus dipulangkan lebih awal hanya untuk meredam suasana kelas. Wali kelas juga ikut turun tangan, “Itu hak kamu, bukan teman-teman kamu.  Yang menjalani kamu, bukan mereka. Tunjukan potensi yang ada dalam dirimu ke teman-temanmu. Mereka begitu karena mereka belum kenal kamu. Semangat, Fah!”

Kalimat yang serupa juga diucapkan Ibu saya, “Kalau mereka begitu bukan berarti kita malah menjauhi mereka, ketika seorang mencaci maki kita maka kita balas dengan senyuman, jangan mata dibalas mata tapi Love for All Hatred for None, Cinta untuk semua tidak ada kebencian bagi siapapun, suatu saat adakalanya mereka yang akan menghampiri kita.”

Sejak itu seterusnya, kata-kata Ibu sangat tertanam di dalam benak. Meskipun masih tersisa perasaan takut untuk terus membaur, namun ketaatan dan keyakinan pada ajaran Islam yang damai ini telah berhasil mengalahkan ketakutan. Saya berusaha semaksimal mungkin menorehkan prestasi di sekolah. Tak sia-sia, saya masuk peringkat 10 besar, dan aktif di kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Dengan izin Allah Ta’ala, semua seperti selesai dengan sendirinya hanya karena keberkatan doa.

Tidak hanya prestasi-prestasi, hubungan saya dengan teman-teman pun berjalan normal kembali. Tidak ada lagi interogasi, caci-maki, dan perlakukan-perlakuan yang tidak menyenangkan. Toleransi, yang sebenarnya bisa kita lakukan sendiri, sepanjang kita mau memahami arti keberagaman, dan menghargai keyakinan.

Note : Jika postingan ini dirasa bermanfaat silahkan untuk menshare kembali.


Facebook


Twitter


Youtube


Instagram


Spotify

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *