Assalamualaikum sobat Islamkukeren,
Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai saudariku, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.
Niat adalah penentu suatu amalan, apakah diterima atau tidak, tergolong, kebaikan atau keburukan. Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda, “Sesungguhnya dia yang memperlakukan orang lain dengan akhlak fadhilah, Allah tidak akan menyia-nyiakan imannya.”
Ketika seorang insan melakukan sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala dan menolong saudaranya yang lemah, imannya akan menjadi bertambah kuat disebabkan keikhlasan ini. Namun perlu diingat, akhlak yang seseorang tampakkan karena riya (pamer) semata, tidak akan menjadi karena Allah dan sedikit pun tidak akan memberikan faedah. Hal demikian karena hilangnya keikhlasan.
beliau as juga bersabda,
“Di dalam Alquran Karim, bersama dengan iman, Allah Ta’ala juga menyebutkan amal saleh. Dan amal dikatakan untuk suatu (amal) yang didalamnya tidak ada keburukan sebesar dzarrah sekalipun. Ingatlah bahwa pencuri selalu merusak amal manusia. Apa itu? Pencuri mana yang merusak amal manusia. Riya, ingin dilihat, yaitu ketika seseorang melakukan suatu amal untuk dilihat.
Diantara bentuk syirik asghar (kecil) adalah riya’, termasuk juga sum’ah. Riya’ asal katanya adalah رَأَى (ra’aa) yang maknanya melihat, artinya pelaku riya’ tersebut bermaksud memperlihatkan amalannya ketika dia melakukannya. Sedangkan sum’ah asal katanya adalanya سَمِعَ (sami’a) yang maknanya mendengar, artinya pelaku sum’ah tersebut bermaksud memperdengarkan amalannya setelah dia melakukannya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.” Ibnu Hajar juga menyatakan: “Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indera pendengaran (telinga) sedangkan riya’ berkaitan dengan indera penglihatan (mata).”
Dalam sebuah hadits :
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ , قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
Dari Sufyan dari Salamah mengatakan; Nabi ﷺ bersabda; – “Barangsiapa yang beramal karena sum’ah, Allah akan menjadikannya dikenal sum’ah, sebaliknya barangsiapa yang beramal karena riya’, Allah akan menjadikannya dikenal riya.”
HR. Bukhari
Karena riya dan sum’ah adalah salah satu bentuk kesyirikan, yakni syirik kecil. Amalan yang bercampur dengan keduanya tidak akan diterima.
Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ. قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling kukhawatirkan akan menimpa kalian adalah syirik ashgar.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik asghar, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Syirik asghar adalah) riya’.”
HR. Ahmad 5 : 429, shahih
Barang siapa yang mengharapkan pahala dari Allah dan takut terhadap adzabNya maka hendaknya dia menjauhi syirik asghar. Allah berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Al-Kahfi : 110
Allah berfirman dalam hadits qudsi:
أنا أغنى الشركاء عن الشرك. من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركته و شركه.
Aku sekutu yang paling tidak memerlukan sekutu. Siapa yang mengerjakan amalan yang dia sekutukan bersama-Ku sekutu selain Aku dalam amalan itu, Aku biarkan dia dengan sekutunya.
Hadhrat Masih Mau’ud as memberikan contoh tentang riya. Di sini maksudnya tiada lain bahwa secara lahiriah riya itu dosa kecil tetapi ia bisa juga menjadi dosa besar. Misalnya, menunaikan shalat menghasilkan ganjaran sangat besar karena shalat adalah sarana untuk meraih kedekatan dengan Allah Ta’ala dan juga shalat adalah mi’raj bagi agama. Akan tetapi menunaikan shalat karena untuk diperlihatkan kepada orang-orang (riya) tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Demikian juga seorang insan yang rajin mengerjakan shalat akan tetapi jika ia merampas hak-hak orang lain maka shalatnya itu bukan kebaikan baginya.
Kapan Dua Syirik Kecil Ini dapat Menjadi Syirik Besar?
Pertama, jika dia tidak akan pernah melakukan ibadah, kecuali dengan praktek riya. atau sum’ah. Dia sembunyikan kufurnya, dan dia perlihatkan imannya. Ini yang dikatakan riya’ murni, tidak terbayangkan ada pada seseorang yang mempunyai iman melakukannya, karena riya atau sum’ah murni ini biasanya dipraktekan oleh para munafik.
Kedua, mayoritas amalannya berjalan di atas riya atau sum’ah.
Ketiga, keinginan pelaku dalam amalannya adalah dunia, tidak pernah mengharapkan wajah Allah atau balasan di akhirat.
Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa neraka justru dikobarkan untuk orang-orang yang beramal, seperti membaca al qur’an, yang ingin digelar qari, mujahid yang ingin dijuluki pahlawan dan hartawan yang ingin dipanggil sebagai muhsinin. wal’iyaadzubillah.
Tanda-Tanda Riya
‘Ali bin Abi Thalib mengatakan:
Ada Tiga tanda-tanda Riya pada seseorang, malas kalau berada sendirian, semangat kalau di tengah orang banyak, semakin giat jika dipuji, berkurang kalau dicela.
pernahkah engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara langkahnya begitu samar bahkan tidak dapat kita dengar. Seperti inilah Rasulullah ﷺ menggambarkan kesamaran riya’. Nabi ﷺ bersabda,
يَا أَبَا بَكْرٍ لَلشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
“Wahai Abu Bakar, sungguh syirik di tengah-tengah kalian itu lebih tersembunyi daripada jejak semut.”
Abu Bakar berkata,
وَهَلِ الشِّرْكُ إِلَّا مَنْ جَعَلَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخر؟
“Tidakkah kemusyrikan itu kecuali seseorang yang menjadikan sesembahan yang lain di samping Allah Ta’ala?” (maksudnya: jelas terlihat, pent.)
Maka Nabi ﷺ bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَلشِّرْكُ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ،
“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya. Sungguh kemusyrikan itu lebih tersembunyi daripada jejak semut.
HR. Bukhari
Terapi Riya
Menghilangkan riya sangat sulit, memerlukan usaha keras,sungguh-sungguh dan terus menerus,
- Yang paling utama adalah doa
- Kita perlu memerhatikan dua hal:
Menghilangkan Rasa senang akan pujian, dan sakitnya celaan, serta memutus semua keinginan terhadap apa yang ada pada orang lain.
Yang kedua, berusaha keras menepis riya ketika dia datang. Tiga hal yang menjadi pendorongnya, harus disingkirkan, yaitu tahu kalau ada orang yang melihat gerak geriknya, ada keinginan dilihat oleh mereka dan ada keinginan hati akan pujian mereka dan mendapat kedudukan baik di sisi mereka.
Hadhrat Masih Mau’ud as: Jika manusia mengadakan introspeksi (pemeriksaan) kedalam dirinya sendiri maka ia akan tahu bahwa pekerjaan yang sedang dilakukannya apakah karena Allah Ta’ala atau hanya untuk pamer saja kepada dunia? Jika manusia tahu, “Setiap perbuatan saya harus saya lakukan atau akan saya lakukan hanya untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala.” Jika betul demikian maka iapun akan menerima ganjaran dari Allah Ta’ala dan ia selalu berusaha untuk melakukan amal-amal baik. Barulah dia akan terus mengadakan peninjauan, “Saya akan mencari kesempatan perbuatan baik sebanyak-banyaknya dan melaksanakannya.” Tatkala ini akan terjadi maka selanjutnya tidak akan muncul riya dan juga perbuatan keburukan lainnya.
Tambahan:
Tiga orang yang pertama dimasukkan ke dalam neraka
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepadanya:
Sesungguhnya pada hari kiamat Allah akan turun kepada hamba-hamba-Nya untuk menetapkan keputusan di antara mereka. Setiap umat datang dengan membungkuk. Orang pertama yang dipanggil adalah orang yang menghafal Alquran, orang yang berjihad di jalan Allah, dan orang yang memiliki banyak harta.
Allah lalu bertanya kepada orang yang membaca atau menghafal Alquran: Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang telah Aku turunkan kepada utusan-Ku? Orang itu menjawab: Benar wahai Allah.
Allah kembali bertanya: Lantas apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah kamu ketahui? Orang itu menjawab: Aku bangun di waktu malam dan siang hari.
Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata: Kamu telah berdusta.
Allah berfirman: Kamu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan adalah seorang pembaca Alquran yang baik. Dan sebutan itu sudah didapatkan.
Lalu dihadapkan kepada Allah orang yang diberikan harta. Allah berfirman kepadanya: Bukankah Aku telah melapangkan rezeki bagimu hingga Aku tidak membiarkan dirimu membutuhkan (meminta) kepada orang lain? Orang itu menjawab: Benar, wahai Allah.
Allah bertanya: Apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu? Orang itu menjawab: Aku menyambung silaturahim dan bersedekah.
Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata kepadanya: Kamu telah berdusta.
Allah berfirman: Akan tetapi dirimu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan (dirimu) adalah orang yang dermawan. Sebutan itu pun telah didapatkan.
Lalu dihadapkan orang yang terbunuh di jalan Allah. Allah lalu bertanya kepadanya: Karena apa dirimu terbunuh? Orang itu menjawab: Aku diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu. Aku lalu berperang hingga terbunuh.
Allah berfirman kepadanya: Kamu telah berdusta. Malaikat berkata kepadanya: Kamu telah berdusta.
Allah berkata kepadanya: Akan tetapi kamu hanya ingin dikatakan bahwa si fulan (dirimu) adalah orang yang pemberani. Sebutan itu telah didapatkan.
Rasulullah lalu memukul lututku dan bersabda: Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah pertama yang merasakan api neraka pada hari kiamat nanti.
| Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Hakim.
Tidak beramal karena takut riya
jika seseorang beribadah tapi tidak memiliki motivasi yang dapat membangkitkan riya’, tapi yang ada justru kekhawatiran jika di tengah-tengah ibadah muncul sikap riya’, maka sebaiknya jangan meninggalkan ibadah. Karena dengan begitu tujuan dan tipu daya setan menjadi berhasil. Sebaiknya ia tetap melakukan ibadah dan berusaha untuk sedapat mungkin bisa menjauhkan diri dari sikap riya’.
Menurut Imam Ghazali, justru seseorang akan terjatuh ke dalam sikap riya’ yang sesungguhnya jika ia meninggalkan ibadah karena dilihat orang lain. Sebaliknya, melakukan ibadah demi memperlihatkan kepada manusia adalah tindak kemunafikan.
Baca juga: Ats Tsiqatu Bin Nafs: Kenali Diri Agar Bisa Mensyukurinya