Kita semua tahu bahwa toleransi sebenarnya telah diproklamirkan sejak 1400 tahun yang lalu, ketika Nabi Muhammad saw menerima wahyu, “Lakum diinukum waliyyadiin” (Qs. Al-Kafirun ayat 7), yang artinya, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”.
Ayat tersebut turun sebagai penegasan atas hak asasi manusia dalam beragama dan kewajiban manusia dalam menghormati agama lain. Bahkan, semua itu juga telah dicontohkan sendiri oleh Nabi Muhammad saw.
Baca Juga :
Nabi dan Toleransi Terhadap Kaum Nasrani Najran
Sikap Toleransi yang agung yang dapat kita teladani dari Nabi Muhammad saw, adalah berkaitan dengan kisah nashrani najran yang beribadah di masjid.
Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad saw pernah membiarkan umat nasrani melakukan ibadah di masjid. Dikisahkan bahwa suatu hari Nabi diberitahu akan datangnya delegasi umat Nasrani dari Najran. Rombongan itu diperkirakan berjumlah enam puluh orang. Mereka ingin menemui Nabi Muhammad saw untuk berdiskusi tentang persoalan ketuhanan.
Ketika utusan kaum Nasrani Najran tiba, Nabi mempersilakan mereka masuk ke masjid. Manakala waktu ibadah mereka tiba, para delegasi itu meminta izin Nabi untuk melakukan ibadah di masjidnya. Para sahabat bekeberatan dengan permintaan mereka itu. Dalam pikiran mereka, orang-orang kafir tidak patut melakukan kegiatan ibadah keagamaan di masjid.
Tetapi, Nabi justru mengizinkan. Beliau membiarkan mereka ibadah di masjid. Usai kebaktian, mereka mengajak Nabi berdiskusi. Beliau menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan kritik-kritik mereka dengan cara yang santun. Dalam perdebatan itu mereka kemudian mendapati kebuntuan. Mekipun begitu, beliau saw tetap tidak memaksa mereka masuk Islam, tetapi memberikan mereka kebebasan untuk memilih.
Manakala mereka tiba kembali ke negerinya, sebagian di antara mereka masuk Islam. Ini merupakan contoh sikap toleran yang tiada tanding dalam sejarah keagamaan.
Baca Juga :
Perjanjian Piagam Madinah – Sebuah Misi Perdamaian
Sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, terdapat sebuah kota bernama Yatsrib. Di sana, ada 2 kabilah besar yang saling bertikai ratusan tahun lamanya. Dua kabilah besar di Yatsrib tersebut adalah kabilah Aus dan kabilah Khazraj.
Tercatat sekitar 120 tahun dua kabilah tersebut bertikai. Kendati demikian, kedua kabilah tersebut sebenarnya merindukan perdamaian, tetapi tidak menemukan sosok yang menyatukan mereka.
Para pemuka kabilah di Yatsrib menyadari bahwa keadaan sosial politik di kota itu mengalami krisis sehingga membutuhkan seorang hakam atau penengah yang mampu menyelesaikan sengketa dua suku besar. Mereka lantas sepakat bahwa Nabi Muhammad saw adalah sosok yang tepat untuk menjadi hakam guna menyelesaikan konflik tersebut.
Pada saat bersamaan, perjuangan dakwah Nabi Muhammad saw di Makkah juga mengalami jalan buntu. Maka itu, Rasulullah SAW mengajak kaum muslim di Makkah, yang masih berjumlah sedikit untuk hijrah menuju Yatsrib, dengan harapan, dakwah Islam disambut lebih baik oleh warga kota tersebut.
Pada 622 Masehi atau tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad saw membuat perjanjian dengan pelbagai kalangan yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama di Yatsrib, yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Nabi mendeklarasikan piagam ini untuk mewujudkan persatuan dan perdamaian di Madinah.
Piagam Madinah berisi pernyataan bahwa semua warga muslim dan non-muslim di Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa, dan orang Yahudi dan Nasrani, serta non-muslim lainnya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan.
Baca Juga :
Toleransi Jalan Menuju Persatuan dan Perdamaian
Dari sejarah tersebut, dapat diambil hikmah bahwa terdapat 2 markhalah atau jenjang untuk mencapai perdamaian. Jenjang yang pertama adalah toleransi dan jenjang yang kedua adalah keadilan. Kedua jenjang ini saling berhubungan satu sama lain.
Jika toleransi mampu melahirkan persatuan, maka untuk menjaga persatuan tersebut perlu ditegakkan keadilan supaya terwujud perdamaian di masyarakat. Seperti yang telah dilakukan Rasullullah saw dalam mengemban misi perdamaian dan mengakhiri konflik yang ada, beliau merumuskan Piagam Madinah yang sarat akan nilai-nilai keadilan.
Inilah kehidupan yang didambakan dunia. Kehidupan dimana masing-masing orang akan merasa aman dan tentram. Hal ini juga sesuai dengan sabda Huzur (aba) dalam sebuah Konferensi Pers Virtual, di mana Beliau (aba) bersabda: “Jika tidak ada keadilan, tidak ada perdamaian. Inilah mengapa Al-Qur’an mengatakan dan nabi suci Islam (saw) bersabda bahwa Anda harus menegakkan keadilan dan kemudian Anda dapat melihat perdamaian di masyarakat, di tingkat lokal Anda, di rumah Anda, dan di tingkat Internasional pada umumnya.”[Konferensi Pers Virtual dengan wartawan di Gambia, 22 Mei 2021].
Baca Juga :
Kewajiban seorang Ahmadi dalam menjaga persatuan dan perdamaian
Sebagai seorang muslim ahmadi dan warga negara yang baik, kita harus memberikan teladan di masyarakat. Yakni dengan bersikap toleran serta adil terhadap siapa saja, menghargai perbedaan pandangan atau pendapat, saling tolong menolong tanpa melihat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), dan yang terpenting adalah menjaga hubungan baik terhadap semua lapisan masyarakat.
Hal ini, sejalan dengan sabda Huzur (aba):
“Kami (para ahmadi) berusaha untuk membangun ikatan persahabatan dengan non-ahmadi dan non-muslim. Kami berusaha untuk dialog antar agama. Kami menghargai dan menghormati tetangga kami. Kami selalu siap membantu mereka yang membutuhkan”- Hazrat Mirza Masroor Ahmad (aba), 26 Oktober 2018.
Karena sejatinya, semua agama mengajarkan toleransi, persaudaraan serta kemanusian. Sayyidina Ali pernah berkata, ‘jika kamu bertemu dengan seseorang, jika dia bukan saudara seagama, dia adalah saudaramu sekemanusiaan’.
Tulisan merupakan naskah Lomba Pidato AMSA/AMSAW 2021 atas nama Nafilatun Nafiah
Baca Juga :