Toleransi, Cara Keren Anak Muda Merawat Kebhinekaan dan Memupuk Perdamaian

Toleransi, Cara Keren Anak Muda Merawat Kebhinekaan dan Memupuk Perdamaian

Toleransi, Cara Keren Anak Muda Merawat Kebhinekaan dan Memupuk Perdamaian

Islamku Keren

April 9, 2021

Matahari menyembul dari peraduannya. Seberkas cahayanya masuk menerobos ke celah dedaunan. Aku mendongak ke atas dan melihat beberapa ekor tupai serta burung-burung berukuran sedang yang sedang bersiul bersahut-sahutan. Dinginnya Gunung Lawu kala itu begitu menggigit tulang hingga butuh usaha ekstra untuk bergerak karena cuaca terus merayu untuk tetap di tenda dan kembali lelap dalam tidur. Setelah mengemas barang dan perlengkapan berkemah, aku dan beberapa teman komunitasku melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Lawu untuk tiba di destinasi utama, yaitu puncak.

Sepanjang perjalanan, alam tak jemu menyuguhkan panorama yang membuat bibirku kelu hingga tak ada lagi yang diucapkan selain, “Subhanallah…”. Beberapa temanku ada yang bertanya apa makna dari ungkapan tasbih yang kuucapkan. Dan setelah kujelaskan apa maknanya, mereka pun mengerti. Ternyata mereka juga punya cara tersendiri dalam memuji Tuhan Sang Pemilik Semesta menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.

Hutan di Pegunungan Lawu merupakan hutan hujan tropis yang terdiri dari berbagai macam vegetasi serta hewan-hewan liar. Kutemukan tumbuhan-tumbuhan herba, perdu, juga pepohonan berukuran besar. Tak lupa kuabadikan tingkah polah hewan liar seperti monyet ekor panjang dalam tangkapan kamera. Bunga-bunga liar yang tumbuh subur dengan warna yang memikat mata, nyanyian-nyanyian burung yang begitu syahdu, dan riak air sungai beradu dengan suara tonggeret seakan-akan kami dibuat hadir dalam suatu pertunjukkan seni dengan aneka pameran seni rupa dan simfoni musik yang menyatu dalam harmoni.

Seperti ada bisikan untuk berpikir, benakku bertanya, “Mengapa makhluk hidup di dalam hutan ini dapat hidup seimbang, saling bersimbiosis, dan menciptakan keserasian di dalam alam padahal jenisnya berbeda-beda?”

Menurut ilmu ekologi, semakin beragam makhluk hidup yang menghuni suatu ekosistem hutan, maka akan semakin banyak peran organisme yang saling memengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain. Sehingga apabila hal tersebut dirawat dan dijaga kelestariannya, maka akan tercipta suatu kehidupan hutan yang serasi, seimbang, harmonis, dan kuat. Dan apabila kita melenyapkan satu komponen dari ekosistem hutan itu, seperti berburu hewan secara ilegal atau pembalakkan hutan secara liar, niscaya suatu saat terjadi bencana yang tak terhindarkan.

Semakin aku berpikir, semakin aku bercermin pada kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang tak ubahnya seperti kondisi hutan hujan tropis di Pegunungan Lawu ini, yaitu beragam dan majemuk. Indonesia memiliki segudang tatanan budaya masyarakat yang berbeda-beda, dari suku budaya serta adat yang bermacam-macam, diversitas agama dan kepercayaannya pun cukup tinggi, tak hanya 5 agama resmi yang diakui di Indonesia, tapi keyakinan dan kepercayaan lokal juga tak sedikit. Seperti halnya teman-temanku yang sedang mendaki gunung ini, mereka menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda.

Secara geografis, Indonesia terletak pada kondisi yang ‘toleran’ terhadap pertumbuhan vegetasi serta kehidupan flora dan faunanya. Sehingga tak heran jika biodiversitas atau keanekaragaman makhluk hidup di Indonesia memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Indonesia juga memiliki spesies-spesies endemik, artinya tidak ditemukan di daerah manapun kecuali di Indonesia. Hal ini yang menyebabkan spesies-spesies tersebut saling ketergantungan satu sama lain.

Kondisi alam Indonesia seperti itu seyogyanya dapat berbanding lurus dengan keragaman dan kemajemukan kehidupan sosialnya.

Namun apa yang saat ini terjadi di Indonesia berbanding terbalik dengan keadaan tersebut. Perbedaan sering menjadi alasan sebagian orang untuk melakukan tindakan-tindakan intoleransi, diskriminasi, konfrontasi, dan masih banyak ‘-si’ lainnya yang dapat menimbulkan dampak yang buruk dan mengancam keutuhan negara.

Tak dipungkiri, orang Indonesia masih banyak terjangkit ‘penyakit warisan’ dari zaman kolonial yang diturunkan hingga zaman milenial sekarang ini, yaitu penyakit prasangka alias suudzon.

Pada zaman penjajahan Belanda dulu, ketika etnis Tionghoa dari negeri Tiongkok masuk ke Hindia Belanda, bangsa penjajah menaruh prasangka. Mereka membuat semacam aturan yang menyulitkan warga etnis tersebut agar tidak bisa berkembang karena khawatir mampu menguasai perniagaan sehingga bisa mengancam eksistensi kongsi dagang Belanda pada saat itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Singkat cerita, sejarah menuturkan bahwa kondisi tersebut membawa pada suatu peristiwa bernama ‘Geger Pecinan’, di mana terjadi pembantaian warga etnis Tionghoa secara besar-besaran, terutama di Jakarta yang dahulu disebut dengan nama Batavia.

Aksi diskriminatif terhadap etnis Tionghoa tidak hanya berlangsung zaman itu saja. Ketika usia kemerdekaan Indonesia baru beberapa tahun, kembali meletus peristiwa serupa namun tidak separah itu. Karena guncangan krisis ideologi dan politik identitas, isu rasial pun diangkat, lalu dijual ketika memasuki masa Orde Baru (1965) dan pergantian presiden. Organisasi dan sekolah Tionghoa ditutup, menyusul tuduhan kudeta yang ditengarai oleh sebuah partai ideologi di Indonesia, belum lagi banyak kebijakan yang melarang aktivitas beraroma Tionghoa, juga melarang penggunaan nama Tionghoa bagi masyarakat. Maka terjadilah kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa, penjarahan, pembakaran toko, bahkan terjadi pembunuhan. Dalam beberapa tahun terakhir, peristiwa politik juga sempat menyeret isu ini hingga masyarakat Indonesia terpolarisasi. Prasangka rasial terhadap etnis Tionghoa ini menimbulkan gejala Xenofobia atau ketakutan ekstrem terhadap hal yang dianggap asing.

Etnis Tionghoa di Indonesia sejatinya merupakan bagian dari entitas bangsa Indonesia itu sendiri yang sama-sama ikut terlibat dalam mengukir sejarah bahwa mereka berperan dalam meraih kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Ibu Pertiwi Indonesia, berbahasa Indonesia, dan menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Sedih sekali rasanya jika sampai terjadi diskriminasi tak beralasan hanya karena perbedaan rasial ini.

Tidak hanya ras, Indonesia juga punya beragam suku bangsa dari berbagai daerah di 34 provinsi. Masing-masing provinsi memiliki suku dan derivatnya yang juga sangat ‘bhineka’. Bagaimana tidak? Misalnya, suku Sunda memiliki ragam bahasa atau dalam bahasa Sunda disebut undak-usuk basa Sunda. Dalam aplikasinya, bahasa Sunda menggunakan sistem tatanan bertingkat, artinya cara berbahasa kepada lawan bicara dibedakan berdasarkan usia. Dialek bahasa Sunda pun berbeda-beda di setiap daerah, seperti bahasa Sunda daerah Priangan yang berbeda dengan bahasa Sunda daerah Banten. Dalam suku Sunda saja bisa memiliki ragam tatanan dalam bahasa, bagaimana dengan suku-suku lainnya di Indonesia?

Ironisnya, di negara kita masih sering terjadi konflik antarsuku dan perang saudara. Pada tahun 2001, telah terjadi peristiwa konflik antara suku Dayak dan suku Madura di Sampit, Kalimantan. Akibat dari tragedi mengerikan ini, puluhan hingga ratusan orang kehilangan nyawa. Selain itu juga masih banyak konflik-konflik yang melibatkan suku antarsesama bangsa Indonesia. Memilukan, memang. Hati mana yang tidak tersayat melihat saudara sebangsa dan setanah air saling baku hantam karena perbedaan suku.

Berkenaan dengan hal ini, RasulullahSaw pernah bersabda bahwa tidak ada orang (kulit) hitam yang lebih superior, tidak ada orang (kulit) putih yang lebih superior, tidak ada orang Arab yang lebih superior dari non-Arab, dan sebaliknya. Artinya, bahwa apapun ras, suku, dan etnisnya, tidak ada yang lebih unggul dan berhak mengungguli. Semua harus egaliter. Karena sesungguhnya Allah Taala tidak akan memandang kedudukan berdasarkan ras atau suku bangsa, melainkan ketakwaannya.

Dijelaskan pula dalam QS Al Hujurat ayat 14 bahwa Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita sekalian dapat saling mengenal satu sama lain. Betapa sedihnya ketika banyak dari kita yang melanggengkan isu rasial ini dalam kehidupan kita demi kepentingan pribadi/golongan semata, sementara keragaman ras dan suku telah diniscayakan oleh firman Allah Taala sendiri.

Sejak zaman dahulu bahkan zaman praaksara, manusia sudah mengenal istilah animisme dan dinamisme dalam kehidupan spiritual terhadap sesuatu yang bersifat abstrak namun terpatri dalam keyakinan bahwa ada unsur metafisik yang mengatur alam dan tatanannya. Begitupun masyarakat Indonesia yang sudah menganut kepercayaan dan keyakinan bahkan sebelum agama-agama resmi datang ke Indonesia. Kemudian masuk agama Hindu dan Buddha yang datang ke Nusantara, disusul dengan agama Kristen, kemudian Islam. Agama pun ada yang memiliki aliranNamun semua agama tentu bertujuan dalam menciptakan kebaikan, membangun harmonisasi antara hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta hubungan manusia dengan manusia.

Semestinya kita tak perlu merasa aneh, risih atau bahkan alergi dengan berbagai perbedaan agama dan kepercayaan yang ada di sekitar kita. Hal-hal seperti ini yang harus diperhatikan oleh setiap generasi muda agar menggunakan sikap kritisnya untuk berpikir bagaimana merawat keberagaman yang ada di Indonesia.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pemberitaan di media bahwa telah terjadi peristiwa ledakkan bom bunuh diri di sebuah gereja Katolik di Makassar, Sulawesi Selatan. Dilansir dari BBC Indonesia, peneliti terorisme mengatakan bahwa banyak anak muda yang terjaring dalam kelompok teroris melalui media internet dan diiming-imingi jalan pintas ke surga jika melakukan bom bunuh diri. Kebanyakan dari mereka merupakan kaum milenial yang dianggap tidak terafiliasi dengan firkah atau kelompok manapun. Mereka cenderung hampa dengan ilmu agama dan kering dalam spiritualitas.

Betapa mirisnya mendengar peristiwa itu. Alih-alih menebarkan isu perdamaian dan saling menjaga toleransi satu sama lain, masih saja terjadi penambahan kasus bom bunuh diri. Memang, kasus ini tidak hanya terjadi kali ini saja. Justru karena sudah terjadi sekian kali di Indonesia, seharusnya angka kasus ini bisa ditekan seminimal mungkin atau bahkan hilang sama sekali, apalagi dalam kasus ini pelakunya dari kalangan milenial yang semestinya mengutuk keras aksi-aksi terorisme dan intoleransi.

Salah satu hal yang berdampak dari peristiwa ini adalah rusaknya citra agama Islam karena kesalahpahaman dalam mengartikan ajaran ‘jihad’. Kaum radikalis banyak yang memahami ‘jihad’ sebagai tindakan memberangus hal-hal diluar Islam dengan ganjaran surga dan bidadari. Padahal menurut cara berpikir Nietzsche, seorang filsuf kenamaan dari Jerman, istilah ‘jihad’ tersebut mencerminkan bahwa kaum radikalis itu lemah dan itulah cara mereka agar setara dengan bangsa-bangsa yang kuat pengaruhnya. banyak yang menaruh prasangka bahwa Islam merupakan agama berbasis kekerasan, melegalkan aksi peledakkan bom bunuh diri dan aksi teror. Hal ini justru yang menistakan Islam itu sendiri.

Hazrat Mirza Masroor Ahmadaba menyatakan dalam Khutbah Jumat tanggal 29 Juli 2016, “Jika mereka (para teroris) sadar akan ajaran Islam yang hakiki, mereka akan mengetahui bahwa tidak ada satupun ajaran dalam Islam yang membunuh orang-orang tidak bersalah.” Hal ini mengindikasikan bahwa kurangnya literasi dalam memahami ajaran agama dapat menyebabkan suatu kaum atau seseorang berpikir secara ekstrem, apapun dihalalkan bahkan melenyapkan nyawa sekalipun, karena hanya memahami agama secara parsial.

Jika seseorang telah memahami ajaran agamanya secara holistik, maka langkah selanjutnya adalah mengejawantahkan ajaran tersebut dengan menjalin hubungan yang baik antarsesama umat beragama, menjaga kerukunan, saling menghormati, dan yang terpenting adalah hidup bertoleransi.

Sebagaimana hutan hujan tropis, keragaman vegetasi serta flora dan faunanya menjadi unsur penguat ekosistem hutan agar tercipta kehidupan yang setimbang, serasi dan harmonis, karena semua unsur saling ketergantungan satu sama lain. Jika kondisi ini dirawat dengan baik, maka akan tercipta kualitas air, tanah dan udara yang baik, mampu beradaptasi dengan perubahan iklim, tercipta daya dukung lingkungan yang baik serta bermanfaat bagi kehidupan manusia. Namun seandainya jika terjadi kerusakan atau gangguan seperti pengrusakkan hutan atau perburuan secara ilegal, maka bisa dipastikan ekosistem hutan tidak akan bertahan dan memicu terjadinya bencana.

Begitu pula halnya dengan keragaman ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan di Indonesia. Jika generasi muda bangsa Indonesia mampu menjadi tampuk reformasi dengan saling bertoleransi dan menerima perbedaan, maka niscaya akan tercipta suatu ekosistem masyarakat madani yang damai, harmonis, dan rukun. Kita tidak bisa menafikkan perbedaan yang kentara nyatanya di Indonesia karena perbedaan ini adalah anugerah Tuhan yang mesti disyukuri.

Tak terasa pendakian pun berakhir. Kami sudah tiba di puncak Gunung Lawu. Kaki kami berpijak di ketinggian 3.265 dpl. Terbayar sudah kelelahanku melintasi jalan terjal menggapai puncak dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Dan yang lebih mengharukan lagi, aku mendapatkan pelajaran berharga dari kondisi ekosistem hutan hujan tropis di Pegunungan Lawu ini tentang keindahan arti suatu keragaman. Semakin beragam, semakin indah, dan semakin kuat.

Demikian pula halnya dengan aku bersama teman-teman dalam komunitas lintas agama ini. Sambil mengibarkan bendera merah putih dari ketinggian 3.265 dpl, kami bertekad bahwa kami akan senantiasa menjunjung tinggi sikap toleransi, merawat kebhinekaan dan memupuk perdamaian, demi terciptanya Indonesia yang kuat, tangguh dan hidup harmonis.

Penulis : Umar Farooq Zafrullah


Facebook


Twitter


Youtube


Instagram


Spotify

Share

38 thoughts on “Toleransi, Cara Keren Anak Muda Merawat Kebhinekaan dan Memupuk Perdamaian

  1. Anak muda kekinian nih gk melulu bahas nyinyiran, overthinking, mental health, insecure dsj duhhh gw udh overload banget sama yg temanya drama queen.

    Kali² keluar dah dr circle yg begituan, walo non profit tp kan seenggaknya lebih produktif buat memupuk “bentuk kedewasaan”

  2. Tulisan yg penuh taddabur n tafakur.. Semoga kaum muda mudi dapat mengambil manfaat baik dr pemaparan yg cakupannya luas.. Semoga akan semakin banyak kaum muda yang makin tergelitik untuk mengikuti jejak menulis, sebagai pencerahan dan membuka wawasan beragama yang baik dlm pengamalan.. Mubarak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *