SANG MUBALIGH
May 22, 2020
Assalamu’alaikum sobat keren,
Menjadi Mubaligh atau seorang Mubaligh merupakah sebuah cita-cita kah…? atau merupakan sebuah karunia…??
Nabi adalah insan yang memang telah menjadi pilihan Allah Ta’ala di muka bumi ini sebagai Khalifatullah… dan itu merupakan hak mutlak Allah Ta’ala, siapa..? dari mana atau bagaimana..? itu semua Allah Ta’ala yang Maha Tahu.
Menjadi seorang Mubaligh selain memang dari usaha anak manusia dengan melewati tahap-tahap (Ujian-ujian) salah satunya melalui gemblengan atau pendidikan dimana pendidikan itu berguna untuk membekali dirinya dengan ilmu yang sebanyak-banyaknya dengan prinsip “Tuntutlah ilmu setinggi bintang dilangit”.
Tahap demi tahap dia lalui dengan mengikuti pendidikan di Jamiah (Jamai)guna meraih titel Mubaligh… terdapatnya usaha serta upaya disana untuk dapat meraihnya, tidak sedikit juga yang terhenti dalam usaha tersebut, godaan-godaan juga menghinggapinya dalam proses untuk menjadi seorang Mubaligh, godaan dunia untuk menjadi sukses di dunia atau lebih baik disana… itu merupakan salah satu juga ujian dan merupakan “ajakan nafsu syetan”.
Menempuh pendidikan di jamiah untuk bisa menjadikan seorang Mubaligh… memang sangat dituntut sekali untuk seorang tersebut yang pandai (Smart), bahkan dalam segala hal kalau perlu. dengan adanya rangkaian tes ketika hendak masuk dalam pendidikan untuk menjadi seorang Mubaligh. Namun itu semua untuk menjadi seorang Mubaligh tidak terlepas dari “Karunia” dari Allah Ta’ala, karena tanpa karunia “Mubaligh” tidak juga bisa diraih atau bisa saja terlepas dari diri seseorang, apabila hanya mengandalkan kepandaian saja, bahkan ada juga sebagian yang melepaskan karunia itu dengan kata (dalih) tak mampu untuk membawa beban karunia tersebut….
Hidup itu pilihan, ini kata-kata yang sangat familiar sekali, tidak terlepas kita untuk menjadi seorang Mubaligh juga, pilihan dan tidak akan berlepas diri dari sebuah karunia tentunya.
Menjadi seorang Mubaligh tidak cukup titel “Mubaligh” saja yang akan diraihnya namun bagaimana dia dapat menjadi “Penyampai” yang bermanfaat baik untuk dirinya sendiri dan orang lain (Jamaah), dia harus bisa jadi model/contoh yang baik, perilaku yang baik juga, bertutur kata yang baik dan itu semua bukan hal yang mudah.. karena sangat dibutuhkan keistiqomahan yang kuat disana…
Kehidupan Sang Mubaligh
Pola hidup Sami’na Wa atho’na menjadi harga yang mahal yang harus dimiliki seorang Mubaligh. Humble, ramah, smart, dituntut didalam diri pribadi seorang Mubaligh, bahkan tuntutan tersebut berlanjut ketika sang Mubaligh ditugas di lapangan pengabdian bahasa lain di tugaskan… padahal tuntutan-tuntutan itu juga berlaku untuk semua khususnya manusia-manusia yang beriman…
Seorang Mubaligh!!!……. tidak diperkenankan untuk memperlihatkan kesusahan di depan para jama’ahnya, itu merupakan juga merupakan nasihat-nasihat yang diberikan oleh pimpinan terhadap sang Mubaligh ketika akan terjun ke dunia pengabdian (di lapangan), bagaimana dapat mensikapi segala suatu masalah yang ada di daerah dimana ia ditugaskan… tidak sedikit juga sang Mubaligh menjadi “korban” kesalahan-kesalahan, baik atau kurang baiknya suatu daerah tidak terlepas dari sang Mubaligh juga, baik itu masalah tarbiyat, tabligh dan juga masalah keuangan juga lain-lainnya….
Hidup ditengah-tengah masyarakat yang majemuk harus mampu/bisa dijalankan olehnya… tidak terlepas itu dari latar belakang, budaya, suku dan lain-lainnya yang berbeda dari sang Mubaligh, untuk menjalankan itu dibutuhkannya daya dan upaya dan sudah barang tentu “karunia” untuk mampu atau bisa melaksanakan itu semua, belum juga ia dihadapkan dengan problema pribadi sang Mubaligh (keluarga).
Romantika kehidupan seorang Mubaligh yang bertugas (di lapangan)..!! dan menjadi sebuah jargon juga kalau Mubaligh “karunia berbeda-beda”, di berbagai medan lapangan karunia Mubaligh tidak sama…. ada Mubaligh dimana ia bertugas terdapatnya anggota, cabang, ada masjid ada rumah missi, ada juga Mubaligh yang harus mencari dulu kesemuanya itu, ada Mubaligh bertugas dimana kepengurusan sudah jalan, dan Mubaligh menjadi penasihat disana, ada juga Mubaligh dimana kepengurusan yang belum jalan/tidak jalan, dengan demikian ada bahasa/kalimat “maka dengan itulah kami tugaskan anda disana”.
Mengkondisikan situasi dan keadaan dimana sang Mubaligh bertugas, dimana tabligh tarbiyat yang ia laksanakan tidak senantiasa lancar-lancar saja, kendala baik datang dari luar atau bahkan dari dalam sendiri menjadi romantika dalam pelaksanaan tugasnya…
Menghadapi kendala dari luar tentunya lebih sedikit dikatakan bisa diatasi, namun permasalahan di dalam yang terkadang menemui kesulitan karena dibutuhkannya… kebijakan dan penegakan suatu nizam misalnya yang harus ditegakkkan, sedangkan anggota tersebut berpengaruh baik di tempat atau secara “umum”.dan ujungnya tidak sedikit sang Mubaligh yang harus tersalahkan…..
Permasalahan dimana sang Mubaligh bertugas, dan itu harus mampu di tanggulanginya… Alih-alih “maka dengan itulah kami tugaskan anda disana” menjadikan sang Mubaligh melaksanakan karunia tersebut… memang menjadi kebahagian sang Mubaligh apabila tarbiyat, tabligh untuk pelaksanaan kegiatan kegiatan jemaat anggota ada, dan sedikit banyak juga sang Mubaligh hanya menjadi penunggu masjid layaknya seorang “marbot” dia azan, dia iqomat dia juga yang menjadi tukang kebersihan untuk masjidnya…. dengan dalih itu lagi “maka dengan itulah kami tugaskan anda disana” untuk menjadikan Jema’at dimana dia bertugas menjadi jemaat yang baik dan berjalan dengan semestinya.”Hheeeeeemmmmmhhhhhhhhhh……….”.
Ujian dan cobaan yang dihadapinya terkadang dihampiri rasa pesimis, tapi juga menjadikan jembatan dalam rangka peningkatan nilai-nilai rohani sang Mubaligh. Berdoa dan berharap pertolongan dari Allah Ta’ala menyertai dalam segala pengabdian yang diembannya.
Sang Mubaligh “Muliakah” bentuk pengabdianmu…!!! sang Mujahidkah dirimu…???
Wallahu ‘alamu
Penulis : Mahmud Ahmad Syamsuri. S.
[DISPLAY_ULTIMATE_PLUS]