Refleksi Idul Adha, Menyoal Mental dan Sikap Kerja
July 27, 2020
Assalamu’alaikum sobat keren,
Menapaki bulan Dzulhijjah, pasti tak seorang mukmin pun yang akan acuh pada detik-detik penuh berkah. Bukan hanya diidentikkan dengan hewan kurban, namun juga pahala puasa nafal yang patut diperjuangkan. Namun demikian, selain makna keikhlasan dan ketaatan, adakah teladan lain dari Hadrat Ismail yang bisa kita terapkan dalam keseharian?
Sebagai utusan Allah subhaanahu wa taala, pastilah kita tidak memungkiri ketaatan Hadrat Ibrahim, Siti Hajar, dan putra tercinta Hadrat Ismail. Ucapan sami’na wa atho’na bagi keluarga mulia tersebut, bukanlah sebatas lip service, melainkan sebuah persembahan terindah dan penuh pengabdian ke hadapan Allah Sang Mahasegalanya. Mari renungkan, putra yang ditunggu kelahirannya selama belasan tahun, justru harus dihadirkan sebagai ‘persembahan’ terbaik dengan cara disembelih. Di dalam kehidupan sehari-hari pun, jika kita mau merenung, ada banyak benturan ujian yang salah satu jalan keluarnya bisa kita teladani dari sikap keluarga nabi Ibrahim ‘alaihissalaam tersebut.
Sikap yang pertama adalah, membiasakan diri berpikir positif. Islam mengajarkan satu nilai penting tentang berpikir positif, salah satunya termaktub dalam Al-Qur’an surat Albaqarah, yaitu bahwa Allah Ta’ala tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya. Begitulah seharusnya ketika seorang mukmin merasa ditempa ujian. Alih-alih menggali celah dan menimpakan kesalahan kepada orang lain, akan lebih bijaksana jika sikap berpikir positif ini digunakan untuk tafakur atau introspeksi diri. Barangkali, ada kesalahan kecil yang ‘dibiasakan’ berlarut-larut, sehingga ujian yang datang tidak lain adalah sebuah media pembersihan diri.
Kedua, mengurangi berbantah dan banyak alasan. Teladan dari Hadrat Ibrahim ketika menerima perintah dalam tabir mimpi untuk menyembelih putranya, apakah kemudian dijawab dengan sebuah negosiasi kepada Sang Khalik? Bukan tidak mungkin semisal pengorbanan terhadap Ismail akan dilakukan asal sudah lahir Ishaq atau ada anak penggantinya, namun hal itu tidak diakukan. Sebagai Ahmadi, hal ini pernah ditegaskan oleh Hadrat Amirul Mukminin Khalifatul Al-Khamis pada salah satu khutbah jumat beliau, bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai orang yang terlalu banyak alasan.
Sikap ketiga adalah fokus dan hati-hati. Perintah menyembelih sang putra, pastilah sebuah titah penuh makna dari Allah Ta’ala kepada Nabi Ibrahim alaihissalaam. Beliau pun menyikapinya dengan fokus kepada ‘apa yang ditugaskan’ dan hati-hati dalam melaksanakannya, jangan sampai niatan melaksanakan perintah Allah dilakukan dengan penuh keterpaksaan dan mengharap imbalan belaka.
Sikap terakhir sebagai teladan dari kisah pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim adalah, daya tahan. Bukankah Allah telah mengisyaratkan di dalam Al-Qur’an tentang kepastian datangnya ujian, bukan hanya kebaikan tapi juga keburukan? Sikap mental seorang mukmin yang memiliki daya tahan hebat dalam menelan ujian demi ujian, akan tercermin dari perilakunya setelah ia melewati masa-masa sulit. Adakalanya, hal buruk terjadi pada seseorang, tapi dengan keburukan itulah ia bertransformasi menjadi pribadi yang lebih taat dan tangguh. Namun ada pula, seseorang yang diliputi dengan kebahagiaan, akan tetapi seketika berubah emosional dan penuh amarah hanya dengan sentilan sebuah masalah.
Keburukan bukanlah tanda kuat atau lemahnya iman seseorang. Melainkan bagaimana sikapnya dalam menghadapi ujian keburukan tersebut, yang akan mencerminkan ketaatannya dan ketergantungannya kepada Allah semata. Seorang mukmin, terlebih seorang Ahmadi, haruslah senantiasa memperbaiki diri dan menunjukkan perbaikan positif dai hari ke hari. Termasuk ketika menghadapi masalah, maka daya tahan terhadap ujian itulah yang akan mencerminkan kekuatan iman di dalam hati kita. Tidak akan panik atau berduka cita, seseorang yang di dalam dadanya tersemat iman yang dahsyat.
Sekelumit kesimpulan tentang implementasi dari teladan nabi di atas, adalah refleksi penulis menjelang hari agung Idul Qurban. Bahwa penyembelihan hewan kurban, sejatinya bukan sekadar menyembelih makhluk bernama kambing, sapi, atau kerbau. Akan tetapi, adakah nafsu kebinatangan di dalam diri kita, yang masih harus selalu ditafakuri, hingga harus disembelih karena khawatir mempengaruhi setiap langkah kita ketika bermasyarakat, bekerja, dan bergaul di tengah lingkungan.
Sudahkah kita benar-benar ikhlas, taat, dan sami’na wa atho’na tanpa syarat?
???