Sejarah memberikan pelajaran bagi umat manusia. Telah banyak contoh negara-negara yang hancur akibat lemahnya persatuan bangsa. Di negara timur yang mayoritas beragama Islam seperti Afganisthan, Irak, Syiria, Yaman, Palestina, hancur lebur akibat konflik agama [yang lebih lanjut sebetulnya karena kepentingan politik]. Ada pula Yugoslavia yang bubar di tahun 1992 akibat perbedaan ideologi dan isu-isu etnis.
Setelah wafatnya Joseph Broz Tito, presiden Yugoslavia yang memegang pengaruh kuat bagi integritas negara tersebut, isu-isu perbedaan agama dan bahasa kembali muncul sehingga menimbulkan konflik. 6 negara bagian Yugoslavia kemudian memisahkan diri dan pecah menjadi Slovenia, Croatia, Bosnia, Montenegro, Serbia dan Macedonia. Berkaca dari sejarah, ada tiga hal umum penyebab terjadinya perpecahan: 1) perbedaan agama, 2) konflik antar etnis dan 3) perbedaan pandangan politik.
Semua hal ini pun ada di Indonesia, namun Indonesia memiliki integrasi nasional yang cukup kuat karena “Bhineka Tunggal Ika” dan Pancasila yang patut kita syukuri.
baca juga : UKHUWAH WATHONIYYAH, MODAL WIBAWA BANGSA DAN NEGARA DI MATA DUNIA
Persatuan bangsa begitu penting, sehingga the founding fathers memasukkan nilai ini pada sila ke-3 pancasila. Apabila sebuah bangsa memiliki persatuan yang lemah maka bangsa tersebut akan sulit mencapai kemajuan. Jangankan untuk maju, warga negaranya justru sibuk berkelahi satu sama lain.
Beberapa waktu lalu penulis mendapat undangan untuk hadir di “ASEAN Youth Interfaith Camp 2022” yang bertempat di Jakarta namun memiliki agenda kunjungan ke Semarang. Dalam kunjungan ke Semarang, seseorang dari Vietnam bercerita kepada kami bahwa dia merasa kagum dengan Indonesia yang bisa rukun meski memiliki banyak agama.
Dia mengatakan di Vietnam 90% warga negaranya tidak beragama, hanya 10% yang masih beragama. Saya kemudian teringat dengan sejarah pecahnya Vietnam menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan karena perbedaan paham ideologi (komunisme dan liberalisme). Mereka mengalami perang suadara selama 2 dekade atau 20 tahun, hingga kemudian kembali bersatu sebagai sebuah negara yang utuh di tahun 1976. Itulah kisah pasang surut negara- negara yang hancur atau hampir saja hancur karena persatuan bangsa yang lemah.
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk dan plural, Indonesia memiliki tantangan yang besar. Meski kita memiliki ideologi Pancasila dan semboyan “bhineka tunggal ika”, rasa toleransi antar sesama harus senantiasa dipupuk. Toleransi adalah perekat perbedaan. Dengan sikap toleran, seseorang menghargai sesuatu yang berbeda dari dirinya sehingga semua orang bisa hidup berdampingan dengan damai.
Lalu bagaimana sebenarnya keadaan toleransi di Indonesia? Pada tahun 2021 lalu, PPIM UIN Jakarta mengadakan survey mengenai rasa toleransi civitas academic [orang-orang yang ada diperguruan tinggi; baik mahasiswa maupun dosen] terhadap agama-agama lain.
Survey dilakukan di 34 propinsi yang dibagi secara proporsional, responden adalah civitas academic yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Buddha, Konghucu, dsb. Hasil survey menunjukan bahwa 69,83% mahasiswa di Indonesia memiliki toleransi antar agama yang tinggi, sementara 30,17% memiliki toleransi antar agama yang rendah. Namun, yang menjadi perhatian saya sebagai seorang muslim adalah, level toleransi umat Islam menduduki titik yang sangat rendah dibandingkan umat-umat agama lain yang berada di spektrum yang tinggi.
Sedangkan dilihat dari jenis Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Agama justru yang memiliki tingkat toleransi paling rendah dibandingkan jenis-jenis Perguruan Tinggi lain. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa semakin tinggi interaksi lintas agama dan lintas etnis seseorang, semakin tinggi pula rasa tolerasi mereka, begitupun sebaliknya. Ini berarti bahwa masyarakat kita perlu untuk membaur dalam lintas kepercayaan dan lintas etnis supaya mereka saling mengenal dan membangun rasa toleran antar sesama.
baca juga : “Fa Shabrun Jamiilun”, Indahnya Hidup Dengan Sabar
Memang benar, secara yurisdiksi, persatuan Indonesia sudah terwujud, namun secara khusus masih harus terus dipelihara. Pemeliharaan ini membutuhkan usaha yang kompak dari berbagai pihak. Rakyat harus saling menghormati dan menghargai perbedaan di masyarakat dengan tidak melanggar hak-hak orang lain, sementara itu pemerintah harus berlaku adil terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. Ini sejalan dengan seruan Khalifatul Masih V, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad (aba), bahwa perdamaian yang sejati hanya akan terwujud apabila praktik kesetaraan dan keadilan ditegakkan dalam semua lini kehidupan, baik ditingkat lokal maupun nasional [The National Peace Symposium on Religion, Freedom and Peace].
Saat ini, perjuangan untuk membangun ketahanan dan kemajuan negara ada di tangan generasi muda. Islam mengajarkan untuk melakukan Jihad atau berjuang melawan musuh [baik hawa nafsu maupun musuh yang nyata]. Musuh nyata kehidupan bernegara adalah kezaliman atau ketidakadilan yang dilakukan orang baik secara langsung maupun oleh sistem sosial, ekonomi dan politik. Sebagai seorang Ahmadi, kita berkewajiban untuk melanjutkan misi Hadhrat Masih Mau’ud as. dengan menunjukkan contoh-contoh amalan dari perintah-perintah Al- Quran lewat perbuatan kita. Hadhrat Khalifatul Masih V, bersabda:
“Semua Ahmadi – bukan hanya para pengurus saja – bertanggungjawab untuk menampakkan model-model percontohan dalam hubungan-hubungan mereka dengan sesama, memenuhi tuntutan keadilan, dan membuat akhlak ke tingkat yang setinggi-tingginya).”
Seperti yang kita tahu, Jihad dalam ajaran Islam tidak membawa kematian bagi diri sendiri atau orang lain, tetapi sebaliknya, yaitu menjaga hak hidup diri sendiri dan orang lain. Ini berarti bahwa terlibat dalam aktivitas sosial juga merupakan Jihad, karena esensi dari jihad adalah “memberi kehidupan”. Dalam literatur fiqh juga dijelaskan bahwa bagian dari jihad adalah membantu mereka yang kelaparan, baik yang muslim maupun penganut agama lain, memberi pakaian kepada yang tak mampu dan mengajarkan agama kepada yang tidak mengetahuinya juga merupakan bagian dari jihad.
Implementasi ajaran jihad seperti ini yang sesungguhnya sang dibutuhkan, yaitu jihad dalam memerangi kemiskinan, melawan penyakit, menghapus kebodohan, mencegah berita-berita bohong (hoax) dan aktivitas lainnya yang sangat membantu bagi keberlangsungan hidup umat manusia di manapun berada.
Penulis : Nafilatun Nafi’ah
Sumber:
- Survei Nasional: Toleransi Beragama di Perguruan Tinggi.https://conveyindonesia.com/survei-nasional-kebinekaan-di-menara-gading- toleransi-beragama-di-perguruan-tinggi/
- Khotbah Jumat November 2016 : Kesetaraan, Keadilan dan Nurani yang Baik. https://www.alislam.org/archives/sermons/summary/FST20161111-ID.pdf
baca juga : Toleransi Sebagai Kunci Pemersatu Bangsa