Menuntun atau Dituntun Dunia

Menuntun atau Dituntun Dunia

Assalamualaikum sobat keren, Seperti yang kita tahu bahwa seluruh manusia dilahirkan di muka bumi, menjalani kehidupannya di bumi, bahkan hingga akhir hayatnya pun dikuburkan di bumi. Sehingga, banyak sekali orang yang sangat mencintai dan menggilai dunia karena menganggap bahwa kebahagiaan yang sebenarnya adalah apa yang tersedia di dunia. Hal ini menjadikan manusia menuhankan berbagai hal yang disuguhkan di dunia.

Dibuktikan dengan saling berlombanya manusia dalam memperkaya diri dengan uang tanpa mengindahkan kehalalan dan keharaman sumbernya. Mereka mengejar kedudukan atau jabatan tanpa memandang adab dan ilmu. Tak sedikit juga yang menghabiskan waktunya dengan sia-sia hanya untuk menikmati dunia, karena beranggapan bahwa hidup di dunia hanya sekali. Apakah cara pandang seperti ini salah?

Tentu saja salah. Bagi seorang muslim, tentunya cara pandang ini bukanlah yang di ajarkan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai – beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda duniawi) melebihi dari apa yang Allah tetapkan.” (HR. Tarmidzi)

Jika merujuk kepada hadits tersebut, maka yang disampaikan Rasulullah saw bahwa “siapa yang menjadikan dunia tujuan utama maka Allah akan mencerai beraikan urusannya”, memiliki korelasi dengan sifat manusia yang sering merasa tidak puas dan cenderung akan meminta lebih dan lebih lagi. Oleh sebab itu jika hari ini kita ingin mengejar kekayaan, bisa jadi esok lusa keinginan kita berubah dan semakin menginginkan kekayaan yang lebih. Namun, kadang manusia lupa bahwa mereka hanya bisa sebatas ingin, atau berencana saja, sedangkan semua keputusan berada pada keridhaan Allah swt.

Baca Juga :

Mencari Kehidupan atau Sekedar Ambisi

Sifat merasa kurang puas ini biasanya diikuti dengan ambisi yang condong ke arah perilaku negatif. Seseorang akan sangat terobsesi untuk memuaskan dirinya, dan akhirnya mengindahkan berbagai macam cara. Sementara, dunia memang tempat yang penuh tipu daya, tempat kelicikan, dan kejahatan merajalela. Oleh sebab itu lah orang-orang yang selalu merasa kurang puas biasanya hancur dalam kekecewaan bila menemukan kegagalan, atau semakin tidak tahu arah bila berhasil mendapatkan keinginannya, karena selalu menginginkannya lagi, lagi dan lagi. Itulah mengapa Rasulullah saw selalu mengingatkan untuk tidak menjadikan dunia sebagai tempat tujuan.

“Tapi kan manusia tinggal di dunia, wajar kan jika mengejar hal – hal dunia untuk hidup?”

Yang harus digaris bawahi adalah, dalam Islam tidak ada larangan bagi manusia untuk terlibat dalam perkara-perkara dunia seperti bekerja untuk mempertahankan hidup, bersosialisasi, bahkan hiburan untuk mengapresiasi atas jerih payahnya. Islam tetap rasional bahwa manusia membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk menjalani kehidupannya, yang tentunya bisa di dapatkan jika memiliki uang hasil dari bekerja.

Bila ditelaah lagi, para nabi pun pernah terlibat dalam perniagaan, dan juga memiliki aktivitas bekerja. Rasulullah saw dahulu pernah menjadi pengembala kambing dan berniaga, Nabi Daud as yang bekerja sebegai tukang besi, juga Nabi Idris yang bekerja sebagai penjahit, dll.

Baca Juga :

Dunia Sarana Ibadah

“jika bukan untuk bersenang-senang, bagaimana caranya menjadikan dunia yang penuh tipu daya sebagai lahan beribadah?

Tentu sangat bisa. Mari analogikan dengan secangkir kopi. Secangkir kopi bisa diajak mendunia bila digunakan untuk begadang bermain game online, namun bisa diajak mengillahi bila digunakan untuk begadang mengkaji Al-Qur`an dan tafsirnya. Begitupun dengan materi yang kita dapatkan dari hasil kerja keras.

Bila digunakan dalam konteks untuk berfoya-foya, maka orientasi kita bekerja hanyalah sebatas pemuas nafsu dan memperkaya diri sendiri. Mengumpulkan materi tidak akan bernilai apapun. Namun bila hasil jerih payah tadi digunakan untuk menafkahi keluarga, menyenangkan keluarga, bahkan dibelanjakan di jalan Allah, maka akan bernilai ibadah. Bahkan, menafkahi keluarga sama dengan bersedekah loh!

“Harta yang engkau keluarkan sebagai makanan untukmu bernilai sedekah bagimu. Makanan yang kau beri pada anakmu dinilai sedekah bagimu. Begitu pula makanan yang kau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah bagimu. Juga makanan yang kau beri pada pelayanmu, itu juga termasuk sedekah bagimu.” (HR Nasai) 

“capek bekerja boleh kan self reward seperti berbelanja?”
Boleh, asalkan jangan melupakan bahwa dari rezeki yang kita miliki ada hak orang lain didalamnya dan jangan melupakan batasan sehingga menjadi berlebih – lebihan.

“Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah kalian tanpa berlebih – lebihan dan sombong.” (HR. Bukhari) 

Hal Ini mengandung arti bahwa, bukan uang, materi atau hal duniawi yang sebenarnya menjadi masalah dimata Allah swt, melainkan bagaimana kita memandang hal duniawi yang kita manfaatkan. Apa tujuan kita meraih hal duniawi tersebut, dan bagaimana cara kita membelanjakan rezeki yang didapatkan. Dengan kata lain, bagaimana cara kita memandang dunia.

Baca Juga :

Qana’ah Kunci Yang Utama

Apakah kita selama ini menuntun dunia untuk menjadi jalan ke akhirat? Atau justru kita dituntun dunia hingga lupa dengan akhirat? Ini semua kembali pada cara pandang kita tentang dunia dan tentang siapa yang kita prioritaskan. Bagi seorang muslim yang taat, tentu prioritas yang utama adalah mencari keridhaan Allah, sehingga di dalam dirinya memiliki sifat qana’ah.

Seorang muslim akan merasa sangat cukup atas apa yang sudah Allah berikan kepadanya, tidak berlebih-lebihan dan tidak merasa kekurangan. Orang-orang yang qana’ah pun tentu paham betul bahwa dunia bukanlah tempat untuk mencari kebahagiaan yang kekal, melainkan tempat mencari bekal amalan untuk meraih keridhaan Allah di akhirat, dan segala kesenangan yang di tawarkan oleh dunia adalah fana.

Tidak semua ujian selalu berbentuk kesulitan, karena terkadang Allah membungkus ujian tersebut dengan keindahan dan kenikmatan sehingga bagi manusia yang lalai akan tenggelam di dalamnya.

يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
"Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." (Q.S Ghafir : 39)

Baca Juga :

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *