Jihad dengan Pena, Bukti Kecintaan dan Kebanggaan Mahasiswa Ahmadi Menjadi Orang Indonesia

Jihad dengan Pena, Bukti Kecintaan dan Kebanggaan Mahasiswa Ahmadi Menjadi Orang Indonesia

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) merupakan korban dari berbagai tindak diskriminasi dan intoleransi di Indonesia. Perusakan masjid di Sintang, pengusiran di Lombok Timur, penyerangan yang berujung pada pembunuhan di Cikeusik, dan penyegelan masjid di Depok hanyalah puncak gunung es dari diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan yang dialami oleh JAI.

Menurut riset SETARA Institute, JAI merupakan kelompok minoritas yang paling banyak mengalami pelanggaran kebebasan beragama dari tahun 2007 hingga 2020, dengan setidaknya 570 kasus.1 Diskriminasi dan intoleransi yang dialami JAI bukan hanya berasal dari kelompok- kelompok intoleran, tetapi juga dari negara yang dimanifestasikan dalam setidaknya 87 regulasi diskriminatif2 dan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kelompok intoleran.3

Baca Juga : Jihad Harta, Berbagi untuk Tenangkan Hati

Namun, terlepas dari seluruh kondisi ini, setiap anggota Ahmadi, tidak terkecuali bagi para mahasiswa, harus tetap cinta dan bangga menjadi orang Indonesia karena cinta kepada tanah air merupakan bagian dari iman.4 Kecintaan dan kebanggaan terhadap tanah air tidak cukup sebatas perkataan karena dalam Islam perkataan dan perbuatan harus sejalan.5

Dengan kata lain, mahasiswa Ahmadi yang benar-benar mencintai dan merasa bangga menjadi orang Indonesia tidak cukup untuk hanya mengutarakannya secara lisan, tetapi harus pula menunjukkan sikap serta perbuatan konkret yang menunjukkan hal tersebut. Hz. Mirza Masroor Ahmad mengambil contoh kecintaan terhadap tanah air dari para Ahmadi  di  Pakistan  yang  mana  meskipun  diperlakukan  secara kejam dan diskriminatif dalam semua aspek kehidupan, para Ahmadi tersebut terus membantu membangun Pakistan demi kemajuan dan keberhasilan negaranya.6

Mahasiswa Ahmadi di Indonesia dapat membuktikan kecintaan dan kebanggaannya sebagai orang Indonesia dengan melakukan jihad dengan pena. Dalam QS. At-Taubah ayat 20, Allah Ta’ala berfirman yang artinya,

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka, memiliki derajat yang tertinggi di sisi Allah dan merekalah orang- orang yang berjaya.”

Saat ini sayangnya ayat mengenai keutamaan jihad ini kerap kali disalahartikan dengan jihad yang dilakukan dengan kekerasan fisik, padahal hal zaman sudah berubah dan jihad yang dibutuhkan saat ini adalah jihad tanpa kekerasan, yaitu jihad dengan pena. Mengenai jihad dengan pena, Hz. Masih Mau’ud menjelaskan:

“Saat ini waktu telah berubah; sudah terdapat kedamaian di mana-mana, justru dengan pena lah saat ini Islam diserang. Itulah sebabnya pena harus digunakan untuk membantah setiap serangan. Allah taala telah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa kita harus mempersiapkan pertahanan diri dengan senjata yang sama yang digunakan oleh musuh.Maka pikirkanlah apa yang dipersiapkan oleh para penentang Islam saat ini. Mereka tidak mempersiapkan bala tentara. Mereka menerbitkan majalah-majalah dan buku-buku. Oleh karena itu, kita juga harus mengangkat pena kita dan menjawab serangan mereka dengan majalah dan buku-buku. Tidaklah bijak jika obat digunakan untuk penyakit yang berlainan. Jika obat tidak sesuai dengan penyakitnya, maka pasti hasilnya tidak baik dan justru berbahaya.”7

Baca Juga : “Taftii Nafsaka”, Tergolong Manakah Kita?

Saat ini, jihad yang harus dilakukan bukanlah jihad dengan mengangkat pedang, tetapi dengan mengankat pena atau menulis karena melalui sarana ini pula para penentang Islam mengaburkan ajaran Islam yang sejati.Jihad dengan pena merupakan sarana strategis bagi para mahasiswa Ahmadi di Indonesia karena dengan mengemukakan ajaran Islam hakiki melalui tulisan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dari berbagai bidang yang dikuasai oleh para mahasiswa dapat membantu menyelesaikan berbagai persoalan yang dimiliki oleh Indonesia.

Sebagai contoh, salah satu permasalahan yang dimiliki negara ini hingga saat ini adalah rawannya terjadi kekerasan berbasis agama. Dalam konteks kekerasan terhadap JAI, para ulama mengaitkan doktrin bahwa JAI itu sesat dengan kebolehan untuk menumpahkan darah anggota JAI, bahkan para ulama tersebut mengemukakan bahwa para penyerang JAI akan dijamin suatu tempat di surga sehingga para penyerang pun melihat tindakannya sebagai sebuah jihad.8

Dari satu contoh ini saja, apabila para mahasiswa Ahmadi ber-jihad dengan pena dengan menjawab kekeliruan tersebut dengan mengaitkannya dengan ajaran Islam yang sejatinya mencerminkan nilai-nilai perdamaian, maka dapat meluruskan dan membantu menghapuskan pemahaman jihad dengan melakukan kekerasan di Indonesia. Oleh karena itu, karena kecintaan terhadap tanah air merupakan bagian dari iman, maka meskipun JAI merupakan korban diskriminasi dan intoleransi, mahasiswa Ahmadi harus tetap mencintai dan bangga untuk menjadi orang Indonesia.

Adapun, kecintaan dan kebanggaan ini harus pula ditunjukkan dengan perbuatan konkret yang mana salah satunya dapat dilakukan dengan cara ber-jihad dengan pena.

Referensi:

1  Ikhsan  Yosarie,  et  al.,  Inklusi  Jemaat  Ahmadiyah  Indonesia  Dalam Keindonesiaan

(Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2021), hlm. 11.

2 Komite Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Daftar Kebijakan Diskriminatif Terhadap Ahmadiyah, (Jakarta: Komite Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2022).

3 Contohnya di Sintang pada saat persidangan terdakwa perusakan Masjid Miftahul Huda, Majelis Hakim justru menghakimi keyakinan anggota JAI. Lihat Chandra Iswinarno dan Stephanus Aranditio, “Imparsial: Sidang Kasus Penyerangan Masjid Ahmadiyah Sintang Hanya Dagelan,” https://www.suara.com/news/2022/01/06/175713/imparsial-sidang-kasus-penyerangan-masjid- ahmadiyah-sintang-hanya-dagelan, diakses pada 15 Agustus 2022.

4 Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian, [World Crisis and Pathaway to Peace], diterjemahkan oleh Eekky O. Sabandi (Neratja Press, 2017), hlm. 32.

5 Lihat Pidato Pembukaan Hz Khalifatul Masih V ATBA pada Jalsah Salanah UK 2022, https://www.youtube.com/watch?v=lNTfIXr2VzI, diakses pada 15 Agustus 2022.

6 Mirza Masroor Ahmad, Krisis Dunia dan Jalan Menuju Perdamaian, hlm. 34.

7 Lihat Malfuzhat Vol. 8, hlm. 20. Ahmadiyah.ID, “Jihad Tulisan: Pena dilawan dengan Pena,” https://ahmadiyah.id/jihad-tulisan-pena-dilawan-dengan-pena.html, diakses pada 15 Agustus 2022.

8 Ahmad Najib Burhani, ““It’s a Jihad”: Justifying Violence towards the Ahmadiyya in Indonesia,” TRaNS: Trans -Regional and -National Studies of Southeast Asia 9 (2021), hlm. 109.

Baca Juga : Menuju yang Dia Cintai

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *