Hiasi Hidup Kita Dengan Rasa Malu Yang Berasal Dari Iman

Hiasi Hidup Kita Dengan Rasa Malu Yang Berasal Dari Iman

Assalamualaikum sobat Islamkukeren, pernahkah kalian mendengar hadits “Al Haya’u Minal Iman”?Apakah benar ini merupakan hadits yang berasal dari Rasulullah ﷺ? Malu seperti apa yang dimaksud dalam kategori bagian dari iman? Apa Ada Malu yang tercela?

Telaah Hadits

حَدَثَنَا عَبْدُ الله بْنُ يُوْسُف قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكِ بْنَ أَنَس عَنْ ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَالِم بْنُ عَبْدِ الله عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلُ الله ﷺ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ [ ص: 94 ]

Menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf ia berkata telah mengabarkan kepada kami Malik ibnu Anas ibnu Syihab dari Salim ibnu Abdullah dari Bapaknya bahwa Rasulullah ﷺ pernah melewati seorang laki-laki dari golongan Anshar yang sedang menasehati saudaranya dalam masalah ‘sifat malu’, beliau bersabda: “Tinggalkan dia, sesungguhnya sifat malu itu sebagian dari iman.”

HR. Bukhari dan Muslim

Dalam Fathul Bari dijelaskan bahwa :

Hadits ini adalah Shahih

Abdullah bin Yusuf, dia adalah Al-Tanisi, seorang penduduk Damaskus, dan berasal dari keturunan orang-orang Madinah yang pindah ke damaskus. Guru dari imam bukhari, murid dari imam malik

Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa beliau adalah orang yang paling tsiqah (terpercaya) dalam periwayatan hadits al muwattha

Malik bin Anas adalah seorang pakar ibnu fiqih dan hadits serta pendiri mazhab maliki

Ibnu Syihab Az Zuhri seorang ahli hadits terkenal dari kalangan tabi’in, pelopor kodefikasi hadits

Salim bin Abdullah adalah cucu dari Umar Bin Khattab, perawi hadits ternama dari tabi’in

Yang dimaksud dengan “Abihi” disini adalah Abdullah bin Umar bin Khattab

Sedang asbabul wurud dari hadits ini, dalam jamiul Kabir dijelaskan bahwa Rasulullah ﷺ mendengar seorang laki-laki memberi nasihat kepada saudaranya tentang hal malu, kemudian Rasulullah ﷺ bersabda seperti diatas tadi.

Faidah Hadits

Hadits tersebut sungguh menarik untuk direnungkan. Betapa pentingnya menjaga rasa malu. Tidaklah sempurna iman seseorang jika tidak ada rasa malu dalam dirinya. Rasa malu merawat kita dari tindakan berdosa walaupun mungkin tidak ada manusia yang tahu apa yang sedang dilakukan. Rasa malu melindungi kita dari perbuatan tak pantas, karena hati nurani dapat menilai mana yang pantas dan kurang tepat.

Malu berkaitan erat dengan iman. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Rasulullah ﷺ bersabda,

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”

Hakim

Malu Seperti Apa Yang Dikatakan Berasal Dari Iman?

Pada dasarnya akhlak islam adalah malu

إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ

“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.”

Ibnu Majah : 4182, di shahihkan oleh syekh Albani di dalam shahih : 940

kata “malu” dalam bahasa Arab adalah اَلْحَيَاءُ /al-hayaa’/. Kata ini, merupakan bentuk lain kata اَلْحَيَاةُ adalah حَيَا /hayaa/, yang artinya “hujan”. Apa kaitan antara hujan dan kehidupan? Kaitannya adalah bahwa hujan merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman, dan hewan ternak.

Dalam bahasa Arab, al-hayaah “kehidupan” mencakup kehidupan dunia dan akhirat. Lalu, apa kaitan al-hayaa’ “malu” dengan al-hayaah “kehidupan”? Jawabannya adalah karena orang yang tidak memiliki rasa malu, ia seperti mayat di dunia ini, dan ia benar-benar akan celaka di akhirat.

Malu adalah bagian dari iman, artinya tidak sempurna iman seseorang kecuali ia memiliki sifat malu. Dalam Shahihain Nabi ﷺ bersabda:

الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ

“Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang dari iman”

Al Bukhari 9, Muslim 35

Rasa malu memiliki keutamaan yang sangat agung dalam syariat Islam. Jika manusia tidak memiliki lagi rasa malu atau kurang rasa malunya, maka berbagai kerusakan akan terjadi di muka bumi ini.

إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ

“Jika kamu tidak memiliki rasa malu, berbuatlah sesukamu,”

Bukhari

Apabila kita perhatikan, salah satu penyebab rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu. Maraknya korupsi, praktik kebohongan yang diproduksi selama ini seperti mengaku jadi raja dan ratu, memberikan bukti bahwa rasa malu dan bersalah itu sudah menipis atau mungkin hilang. Orang tua menghamili anaknya, anak membunuh orang tuanya, prostitusi online, pencurian, perampokan, pemerkosaan dan kejahatan lainnya merupakan contoh dari hilangnya rasa malu.

Rasulullah ﷺ juga memutlakkan sifat malu dengan kebaikan, Rasulullah ﷺ bersabda:

الحياءُ لا يأتي إلَّا بخيرٍ

“Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan”

Al Bukhari 6117, Muslim 37
اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ

“Rasa malu seluruhnya adalah kebaikan”

Shahih Muslim : 87

Ibnul Qayyim mengatakan :

وَمِنْ عُقُوْبَاتِهَا ذِهَابُ الْحَيَاءِ الَّذِي هُوَ مَادَةُ الْحَياَة ِللْقَلْبِ وَهُوَ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَذِهَابُ كُلِّ خَيْرٍ بِأَجْمَعِهِ

Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan.

Berkata Wahab bin Munabbih dalam menyifati rasa malu yang akan memperindah dan menjauhkan diri dari kejelekan, “ibarat iman yang tidak tertutup, di mana pakaiannya adalah takwa dan perhiasannya adalah rasa malu.” Sehingga dikatakan, “barang siapa yang menutup pakaiannya dengan rasa malu maka manusia tidak akan melihat aibnya.”

Ini merupakan bukti tegas bahwa sifat malu itu asalnya terpuji.

Baca juga: Berjalan Untuk Dunia, Berlari Untuk Akhirat

Apa Ada Malu Yang Tercela ?

Walaupun sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi tercela jika ia menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau melakukan sesuatu yang benar. Dalam sebuah atsar Imam Mujahid mengatakan :

 لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ 

“orang yang pemalu tidak akan meraih ilmu, demikian juga orang yang sombong”.

seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan melakukan yang haq atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada hakekatnya itu bukanlah malu dalam pandangan syariat. Coba renungkan kembali makna malu yang disampaikan Ibnu Rajab rahimahullah di atas. Bahkan yang demikian adalah sifat lemah dan pengecut. Sifat pengecut ini tercela, Rasulullah ﷺ bersabda:

شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ

“Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut”

Abu Daud 2511, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 560

Kadang-kadang  manusia memang dihalangi rasa malu untuk bertanya hukum agama atau mencari ilmu. Orang yang malu dalam belajar, maka selamanya ia tidak akan mendapatkan ilmu. Malu nanti dianggap sebagai orang bodoh. Malu kalau dianggap bertanya soal remeh. Malu duduk di majelis pengajian karena sudah tua.

Oleh sebab itu, dalam belajar ilmu agama, jangan ada sifat malu, karena itu bukan pada tempatnya. Jangan malu belajar ketika sudah berumur, jangan malu jika sulit paham, jangan malu membahas tentang masalah haidh, mani, jima’, dst. Sebab itu bagian dari agama kita, ada hukum-hukum syari’at yang mesti kita pelajari. Sedangkan, mempelajari agama hukumnya wajib. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat.

وَسُئِلَ أَبُو حنيفَة رَضِي الله عَنهُ بِمَ حصلت الْعلم الْعَظِيم فَقَالَ مَا بخلت بالإفادة وَلَا استنكفت عَن الاستفادة

“Abu Hanifah ra. ditanya, ‘Dengan cara apa engkau mendapatkan ilmu yang hebat?’ Beliau menjawab, ‘Saya tidak merasa kikir untuk ifadah (berbagi ilmu) dan tidak pernah gengsi untuk menimba ilmu (istifadah)”

Hd. Masih Mau’ud as bersabda :

“Ada satu sikap malu yang membawa manusia ke neraka, dan ada satu sikap malu pula yang membawa manusia  ke surga. Seseorang yang karena malu tidak mengambil manfaat dari ilmunya maka bagi orang itu sikap malu adalah neraka.” | Malfuzat, jld. IV, hlm 166

Hd. Mirza Masroor Ahmad aba bersabda:

“Terkait dengan agama, kalian tidak perlu merasa malu atau merasa rendah diri mengenai setiap masalah atau ajaran Islam. Sebaliknya, kalian harus bangga dengan agama kalian dan secara terbuka mengamalkan dan menyebarkan ajaran-ajarannya melalui perkataan dan perbuatan. Hal ini tidak bagi para pengurus saja, melainkan mereka memiliki tugas khusus untuk memberikan contoh terbaik dalam hal ini.“

Doa Rasulullah ﷺ

Nabi ﷺ mengajarkan kita berlindung dari sifat pengecut dan lemah. Beliau mengajarkan doa:

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ، وَالْكَسَلِ ، وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-orang”

At Tirmidzi 3484, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi
Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *