ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” ( Al-Hadid : 20 )
Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjabarkan dengan jelas perihal kedudukan dunia bagi seorang hamba, yang tidak lebih dari sebuah permainan juga senda gurau belaka. Artinya, dunia bukanlah sesuatu yang harus mendapatkan perhatian serius atau effort yang keras. Hal itu karena pada dasarnya kemenangan atau kekalahan yang didapat tidak memiliki nilai apapun.
Tentu terlepas dari hal tersebut, manusia pun sebenarnya memiliki gelar hamba yang Allah SWT sematkan dari awal penciptaannya. Namun, terkadang ingar-bingar dunia mendistraksi pandangan manusia akan maksud penciptaan dari dunia itu sendiri.
Lalu langkah apa yang harus manusia ambil untuk menghindari hal yang menyesatkannya tersebut?
Hal yang paling sederhana yang bisa manusia lakukan adalah dengan mengingat kedudukannya sebagai seorang hamba di mata Allah SWT . Karena pada dasarnya, manusia tersesat karena dia tidak memahami konsep mengapa ia diciptakan dan untuk apa ia diciptakan.
Baca Juga :
Hakikat Seorang Hamba
Padahal, Allah SWT pun sudah menjelaskan hal ini di dalam Al-Qur’an, namun inisiatif manusia untuk menelaah sangatlah rendah.
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu.” ( Adz-Dzariyat : 56 )
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡرِي نَفۡسَهُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ رَءُوفُۢ بِٱلۡعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” ( Al-Baqarah : 207 )
Dari kedua ayat di atas, kita menyoroti bahwa title “hamba” pada diri manusia identik dengan praktik – praktik pengabdian yang tulus kepada Allah SWT. Tujuan dari praktik pengabdian ini adalah untuk meraih keridhaan Allah ta`ala. Hematnya, bila manusia menyadari perihal ini, tentu mereka akan terfokus untuk melaksakan ibadah-ibadah yang mengundang keridhaan Allah ta’ala, dan menjauhi hal yang sia-sia tanpa ridho-Nya.
Lalu muncul pertanyaan apakah ini artinya manusia harus terus senantiasa menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, dan meninggalkan perkara dunia?
Hal ini pernah disampaikan oleh Hazrat Masih Mau’ud as,
“Seorang yang beriman tidak perlu menjadikan sesuatu yang lain sebagai tujuannya, karena tujuan Tuhan untuk menciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Pemenuhan hak bagi dirinya sendiri adalah benar namun sikap yang tidak tepat adalah tidak benar. Sebab dibalik pemenuhan hak-hak diri manusiawi ialah supaya jiwa mereka tidak melemah sehingga tersia-siakan. Kalian harus memanfaatkan hal-hal ini untuk sebab satu-satunya, yaitu memungkinkan kita agar tetap beribadah dan bukan untuk menjadikannya tujuan hidup.” (Malfuzhat, jilid 5, h. 248-249, edisi 1985, terbitan UK).
Dalam sabda Masih Mau’ud tersebut bila dilihat secara kasar terdapat dua point yang tersirat yaitu tentang tujuan penciptaan manusia dan tentang pemenuhan hak manusia. Menyoroti point pertama, bila dianalogikan bahwa dunia adalah sebuah sepeda yang akan mengantar kita kesuatu tujuan, maka tujuan kita adalah keridhaan Allah SWT. Namun, sebuah sepeda akan pergi kemana pun mengikuti kehendak dari pengendaranya.
Ini menjadi arti tentang bagaimana manusia memiliki kendali penuh atas apa yang dimilikinya. Apakah yang ia miliki mampu mengantarkannya meraih keridhaan Allah SWT, atau justru membuat seseorang itu lupa terhadap tujuannya. Namun, bukan berarti Allah SWT tidak memberikan petunjuk untuk manusia dalam menjalani kehidupannya.
هُوَ ٱلَّذِي يُنَزِّلُ عَلَىٰ عَبۡدِهِۦٓ ءَايَٰتِۢ بَيِّنَٰتٖ لِّيُخۡرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ بِكُمۡ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
“Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu.” ( Al – Hadid : 9 )
Singkatnya, dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia diberi kebebasan yang penuh untuk memilih akan seperti apa ia memanfaatkan segala fasilitas yang telah Allah SWT sediakan, dan akan diarahkan kemana fasilitas tersebut. Tentu idealnya bagi Muslim yang bertaqwa akan menjadikan ayat-ayat yang telah Allah SWT wahyukan sebagai pedoman dan menjadikan Rasulullah ﷺ sebagi role model dalam menjalani kehidupannya.
Baca Juga :
Hak Sebagai Hamba Tuhan
Terlepas dari hal tersebut, manusia pun selain memiliki kewajiban kepada Allah SWT, ia juga memiliki hak atas pemenuhan kebutuhan jasmani dan batinya, semata agar keberlangsungan hidupnya berjalan dengan baik. Tentu kehidupan yang baik ditopang oleh baiknya keadaan batin dan fisik. Walaupun dengan menjadikan keridhaan Allah SWT sebagai tujuan, bukan berarti kita harus mengabaikan kehidupan di dunia, karena pada dasarnya dunia adalah salah satu sarana kita untuk merah keridhaan Allah SWT. Rasulullah ﷺ pun menyinggung hal ini dalam sebuah hadist.
وَلِنَفۡسِكَ عَلَيۡكَ حَقًّا
“Diri kalian memiliki hak atas kalian.” ( Bukhari, Kitab tentang Shaum, no. 1968 )
Hal ini perlu diingat kembali bahwa pemenuhan hak atas diri kita tetap harus bersifal adil, dalam arti kita mampu memposisikan sesuatu sesuai dengan tempatnya, tidak lebih dan tidak kurang. Hal itu dimaksudkan agar kita terhindar dari sesuatu yang halal karena berlebihan menjadi haram, dan sesuatu yang halal karena kurang menjadi menyengsarakan. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Pemenuhan hak atas diri sendiri harus dikerjakan dengan i’tidaal (seimbang dan tidak berlebihan).
Intinya kita sangat di anjurkan untuk memanfaatkan segala hak-hak yang kita miliki namun dengan catatan hak yang kita penuhi hanya sebatas untuk membantu kita dalam meraih keridhaan Allah ta’ala. Seperti misalkan seorang kepala keluarga yang menghidupi keluarganya, disatu sisi setiap usahanya adalah pemenuhan hak yang mengaharuskannya untuk berjibaku dengan urusan duniawi namun disisi lain ini adalah bentuk usaha seseorang mengejar keridhaan Allah ta’ala.
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” ( Bukhari no. 56 )
Tentu hal ini sangat berbeda dengan orang-orang yang mengejar dunia dengan tujuan untuk memenuhi hawa nafsunya. Padahal, manusia tidak akan pernah menemukan rasa puas di dalam dirinya, seperti yang disampaikan oleh Masih Mau’ud as “Penggunaan yang tidak semestinya (berlebihan) akan merubah sesuatu yang halal menjadi haram.
Firman-Nya وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيـَعْبُدُونِ ‘Manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah.’ Jelas bahwa untuk memenuhi tujuan ini jika sesuatu diambil lebih daripada yang seharusnya, maka sesuatu yang halal yang diberikannya tersebut menjadi haram karena kelebihannya itu.”.
Oleh sebab itu, kesadaran kita tentang tujuan hidup dari seorang hamba sangatlah penting. Ketika kita sudah paham tentang mengapa dan untuk apa kita diciptakan, maka kita akan mampu melihat segala yang Allah SWT suguhkan sebagai pijakan menuju tujuan yang paling utama yaitu keridhaan Allah SWT.
Selain itu, juga menjadi batasan bagi kita agar tidak terlena dalam urusan dunia, seperti sabda Masih Mau’ud as,“Tujuan hakiki penciptaan manusia adalah agar dia mengenali Tuhannya dan menaati-Nya. Sebagaimana firman-Nya, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيـَعْبُدُونِ.
Tetapi, sangat disayangkan ketika orang beranjak dewasa, banyak yang tidak memahami tanggung jawab dan merenungkan tujuan asli penciptaan mereka. Manusia justru condong kepada harta duniawi dan keagungannya, sampai derajat mencampakan Tuhan, dan tidak menyisakan sedikit pun hak Tuhan dalam hati mereka.
Banyak yang sangat dalam terlibat dan tenggelam dengan duniawi sehingga lupa akan keberadaan Tuhan, lalu baru menyadarinya di saat kematian dan ruh-ruh mereka tengah ditarik. Semoga kita sebagai seorang hamba terselamatkan dari yang demikian.
Baca Juga :