Daya Hancur Bom Pandemi
March 30, 2021
Assalamu’alaikum sobat keren. Pandemi covid-19 berhasil menghancurkan hidup manusia. Tidak hanya menggerogoti kesehatan, pandemi juga mematahkan beraneka resolusi pribadi. Kondisi memaksa sekolah pindah ke rumah. Mahasiswa pun seakan dituntut lulus lebih lama karena penelitian tugas akhirnya terhambat.
Para pedagang harus rela kehilangan pembeli. Beberapa pekerja harus berbesar hati mengucapkan selamat tinggal pada profesi yang sudah menunjang kehidupannya. Sementara para pencari kerja harus ekstra sabar untuk mendapat pekerjaan. Meskipun masih ada yang stabil di tengah wabah yang melanda, namun tetap saja hanya sebagian kecil di antara semuanya.
Baca juga :
Pandemi, bom ampuh yang meruntuhkan perencanaan
Barangkali saya adalah salah satu korban pandemi ini. Wabah ini seperti bom yang ampuh meruntuhkan tangga-tangga perencanaan. Enam bulan sejak dinyatakan lulus sidang sarjana, saya masih harus berjuang mencari pekerjaan. Tak disangka, pandemi mampu menghempaskan setiap rencana sekeras ini.
Lowongan pekerjaan menyusut. Beberapa perusahaan mengalami krisis bahkan bangkrut. Persaingan mencari pekerjaan semakin keras, karena semakin banyak orang yang butuh menyambung hidup. Tak ada alasan untuk diam, berwirausaha akhirnya menjadi pilihan. Modal seadanya, saya mencoba berniaga. Pesanan silih berganti, naik-turun dan tetap tak pasti. Meskipun sekarang selalu ada pemasukan setiap bulan.
Empat bulan berjualan, saya mendapatkan keuntungan yang lumayan untuk seorang pengangguran. Tapi, entah kenapa saya masih saja merasa kurang. Terpikir juga saya menginginkan pekerjaan yang lebih pasti. Saya ingin seperti teman-teman saya yang mendapatkan gaji pertama, kedua, ketiga, dan kesekian. Saya ingin gaji tetap setiap bulan.
Awalnya saya mengeluh, menggerutu, dan mempertanyakan kehidupan. Kenapa roda hidup orang lain berputar sangat cepat dan begitu dinamis? Sementara roda hidup saya seakan macet, dan entah harus menggunakan pelumas apa agar melaju cepat. Saya selalu kesal setiap kali melihat status media social teman-teman yang sudah senang dengan pekerjaan mereka. Semua teralihkan ketika kembali fokus berdagang.
Baca juga :
Dibalik cobaan, ada hikmah
Pertengahan bulan kedua pada tahun ini, ponsel saya hampir menjemput ajalnya. Sementara, berjualan online sangat bergantung pada smartphone. Ah, lagi-lagi harus berlelah-lelah dan menyisihkan waktu serta uang untuk perbaikan.
Saya sempatkan berjalan ke tempat reparasi ponsel keesokan hari. Melewati banyak orang, pedagang kaki lima, dan juga seorang pemulung yang tengah duduk di bangku panjang. Pemulung itu berpakaian lusuh. Di sebelahnya terdapat sebuah kantong besar berisi barang-barang bekas yang berhasil ia kumpulkan.
“Uang, Bu. Saya belum makan, Bu.” Katanya lirih
Saya tidak menggubrisnya, karena fokus pada ponsel yang harus segera diperbaiki. Namun entah kenapa, kata-kata yang diucapkan pemulung itu terngiang di benak. Seperti terus saja berputar di telinga. Wajahnya yang memelas tergambar jelas di hadapan.
“Ya Allah…”
Saya masih memiliki penghasilan dari berjualan, tapi saya mengeluh. Saya masih bisa makan tanpa perlu mengais, tapi saya menggerutu. Sementara di luar sana, segolongan orang tidak beruntung karena hidupnya lebih keras dan susah. Saya masih bias makan tiga kali sehari, tetapi pemulung itu untuk bias makan sekali sehari pun mungkin rasanya seperti mimpi.
Baca juga :
Bersyukur dan berdoa adalah kunci ketenangan hati
Daya hancur bom pandemi memang dahsyat. Namun, bukankah Allah sudah menjamin rezeki setiap makhluk yang Dia ciptakan?
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.” (Q.S. Hud: 6)
Tidak ada gunanya menggerutu. Seharusnya ayat tersebut tertancap di otak dan hati supaya lebih tegar menghadapi hidup. Bagi para pembaca yang nasibnya sama seperti saya, tidak usah berkecil hati. Tetap pantang menyerah melamar pekerjaan kesana-kesini-kemari. Selama masih menunggu panggilan kerja, perbanyak berdoa.
Pandemi layaknya bom yang membuat hati dan pikiran dipenuhi awan hitam. Maka segera cari cahaya matahari. Langit memang indah, maka menengadah supaya selalu semangat meraih impian. Namun, hakikat bumi adalah tempat berpijak, maka tetaplah rendah hati supaya selalu bersyukur akan karunia-Nya.
Baca juga :
- Kunci keberhasilan hidup adalah meningkatkan rasa syukur dan sabar
- Shalat, obat penawar kehancuran dunia
Penulis: Nazhira Azzahra
Alhamdulillah kita masih menyadarinya akan arti kehidupan yg sebenarnya.
Aneh kalau jadi Ahmadi hanya mau jadi pegawai kantoran. Maju nya Jemaat karena banyaknya pebisnis sukses Ahmadi yg memberikan kontribusi besar utk Jemaat di dunia. Sy dengar ada dokter ghair yg buka bengkel service kendaraan ketimbang praktek jadi dokter karena penghasilannya lebih banyak.