Dalil Terbaik Adalah Akhlak

Dalil Terbaik Adalah Akhlak

“jangan cuma bisa share dalil tapi beda kelakuan!”

Sebuah pesan menggelitik yang terpantik oleh share poster dakwah di media sosial. Lucu, sih. Poster nasihat yang seharusnya bisa mendinginkan, ternyata justru menjadi pemicu perdebatan.

Lucunya lagi, muncunya perdebatan bukan karena tidak setuju dengan isi dakwahnya, tapi karena tidak senang dengan kebiasaan seseorang yang gemar membagikan kontennya. Satu pihak berdalih bahwa media sosial bukan tempat untuk mendoktrin agama, pihak yang lain beranggapan media sosial bebas dipakai apa saja.

Baca Juga : AJARAN ISLAM SEJATI? YA AKHLAK RASULULLAH SAW

Awal munculnya media sosial di tahun 1997, Six Degrees, kurang lebih memiliki fungsi yang sama dengan beberapa medsos saat ini. Semuanya memungkinkan seseorang untuk membuat profil, mengirim pesan dan menambah teman.

Nah, menarik ketika menggaris bawahi tujuan akhir dari media sosial yaitu “menambah teman”, jika disandingkan dengan debat kecil hingga “perang badar” yang muncul justru diawali dengan saling balas komentar.

Apakah kemudian hal ini menjadi pergeseran tujuan? Atau para penggunanya yang memang tidak paham tujuan?

Tidak ada yang salah dengan orang-orang yang beradu pendapat itu. Hanya, kelucuan ini semakin mengerucut pada sebuah teori yang hampir benar, bahwa cara dan etika menggunakan media sosial lah yang menjadi pemicu semuanya. Bukan orangnya, apalagi nasihatnya.

Media Sosial Pemicu Komunikasi Gagal

Not the gun, but the man behind it, adalah sebuah perumpamaan yang menurut saya paling tepat untuk menggambarkan kondisi debat komentar via media sosial. Selalu ada sisi positif dan negatif dari sebuah inovasi, yang baik buruknya kembali kepada siapapun yang menggunakan.

Tentu tidak salah jika mengatakan bahwa media sosial hanya tempat untuk bercanda. Membangun komunikasi dan silaturahmi tanpa harus menggurui. Maka sebaran poster nasihat, apalagi jika mengena di hati, bisa jadi sebuah sindiran telak yang akan berujung pada prasangka, ke-baper-an, sampai pada perdebatan dan putusnya silaturahmi.

Jika itu semua terjadi, maka sudah jelas media sosial yang seharusnya menjadi wadah menambah teman justru menjadi penyebab hancurnya komunikasi. Diawali dengan prasangka, dituangkan dalam status WA, berakhir dengan tidak lagi saling sapa. Menarik.

Di pihak lain, tidak salah juga bagi siapapun yang ingin memanfaatkan gawainya untuk sebanyak mungkin menebar pesan kebaikan. Satu nasihat pernah terbaca, bahwa semua yang dimiliki di dunia akan menjalani hisab atas penggunaannya.

Barangkali inilah yang kemudian diartikan bahwa properti apapun yang dimiliki, semaksimal mungkin harus digunakan hanya untuk kebaikan. Salah satunya, menebar poster nasihat dan dakwah melalui whatsapp, Instagram dan media lainnya.

Tapi masalahnya, jika dengan sebaran itu justru memicu perdebatan, apakah nasihat tadi masih tetap relevan?

Baca Juga : Bersabarlah dalam Menghadapi Cobaan

Dalil Terbaik adalah Akhlak

Di tengah kebingungan memilih mana dan siapa yang benar, saya lebih memilih untuk menempatkan kedua kebiasaan tersebut sebagai akhlak. Semoga semuanya tahu bahwa makna akhlak adalah tingkah laku yang dilakukan berulang kali.  Akhlak terbentuk dari sebuah kebiasaan dan pembiasaan.

Lebih jauh lagi, akhlak itu juga lah yang akan memberikan nilai bagi seseorang karena telah melekat di dalam perilakunya. Imam Al Ghazali memberikan pemahaman terkait akhlak sebagai sifat yang membuat seseorang tidak perlu lagi berpikir atau banyak pertimbangan ketika akan melakukan sesuatu.

Maka mengaitkan penggunaan media sosial dengan akhlak, sama halnya dengan membaca kebiasaan seseorang dalam menggunakan gadget dan media sosial itu sendiri. Niat menyebarkan konten, reaksi atas sebuah konten sampai kepada cara menanggapi komentar, semua menunjukkan apa dan siapa kita sebenarnya.

Konten kebaikan seperti poster dakwah, ibaratkan sebongkah berlian yang sangat besar. Mahal, namun keras. Maka berikanlah berlian itu dengan perlahan kepada orang lain, bukan dengan cara dilempar ke kepala yang justru bisa membuat penerimanya berdarah dan terluka.

Maka, jika menebar konten dakwah diniatkan benar-benar untuk menyampaikan pesan kebaikan, periksa juga hati kita apakah sudah benar-benar tidak ada riya’, niat ingin dipuji, atau ingin menyindir orang lain yang justru bisa menjadi pemicu permusuhan.

Selain itu, sikap saling menghargai satu sama lain juga harus digarisbawahi. Tidak semua pengguna media sosial merasa nyaman dengan bentuk atau isi konten tertentu. Maka jika sudah tahu, hargai perasaannya.

Tidak perlu memaksakan harus didengar tanpa mau mendengar. Mari belajar untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Dalih “menebar kebaikan” tidak akan masuk akal ketika konten dakwah yang disebar sama banyaknya dengan perilaku dan lisan buruk kita kepada saudara, teman dan tetangga.

Bisakah kita sejenak berkaca pada teladan nabi, bahwa akhlak Al-Qur’an lah yang menjadi kunci diterimanya nilai-nilai Islam yang sekarang tersebar di muka bumi.

Sebaliknya, bagi penerima nasihat yang tidak pernah sepakat dengan isi dakwah yang disebarkan, bukan juga menjadi alasan pembenar untuk berprasangka. Tidak pernah ada yang bisa tahu isi hati seseorang, maka di saat yang sama tidak ada juga hak untuk menilai niat di balik perilakunya.

Andai orang lain memang memiliki niat untuk menyindir, biarlah itu jadi urusan dia dengan Tuhannya. Namun jika ternyata bukan, maka sama saja kita sedang menebar prasangka kepada saudara. Cermati saja isinya, berterima kasihlah atas nasihat yang diberikan, lalu doakan keberkahan untuk niat baiknya.

Jazakumullah khayran katsiiran.

Baca Juga : Melangkah di Jalan Ketakwaan

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *