Assalamualaikum sobat Islamkukeren, pernahkah kita melihat orang yang bekerja keras mati-matian demi mengejar harta benda keduniaan, tapi malah kelelahan, dan tak kunjung membaik nasibnya? Atau ada juga orang yang terpenjara dengan dunia, seakan-akan dunia ini yang mengatur dirinya, kehidupannya bahkan juga akhirat nya.
Seringkali seseorang disibukkan dengan mengejar dunia, disibukkan dengan pekerjaan, perdagangan mereka, dan perkara lainnya yang dapat meningkatkan kehidupan dunia mereka dan kekhawatiran mereka. Tetapi tatkala berkaitan dengan kehidupan akhirat, tidak sedikit yang lalai darinya. Seakan dunia mengejar mereka, dan akhirat berjalan menjauhinya.
Dalam sebuah hadits Qudsi Allah SWT berfirman :
يقول الله عز وجل للدنيا : يَا دُنْيَا اُخْدُمِيْ مَنْ خَدَمَنِيْ ، وَاسْتَخْدُمِيْ يَا دُنْيَا مَنْ خَدَمَكِ رواه القضاعى
Wahai dunia! Berhidmatlah kepada orang yang telah berhidmat kepada-Ku, dan perbudaklah orang yang mengabdi kepadamu.
Al-Qudha’i
Ini lah perumpamaan dunia dan akhirat, semakin kita tergantung dengan sarana dunia, kita semakin diperbudak olehnya.
Apakah sobat Islamkukeren pernah mendengar ungkapan ini?
“I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan.”
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.”
Banyak yang mengambil “hadits” ini sebagai rujukan dalam mencari kehidupan dunia dan akhirat sehingga salah kaprah dalam memaknai nya. Sering orang mengartikan bahwa untuk mencari kehidupan dunia kita harus bekerja keras seakan-akan hidup untuk selamanya,
Perlu difahami Ungkapan di atas yang tepat bukanlah hadits dari Nabi Muhammad ﷺ.
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah mengungkapkan, hadits tersebut kalau disebut dari Nabi ﷺ tidaklah benar walaupun hadits tersebut sudah sering diucapkan oleh kebanyakan orang.
Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah jilid kedua juga disebutkan bahwa perkataan tersebut tidak tepat dikatakan dari Nabi ﷺ.
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin (Ulama abad 20) mengungkapkan, bahwa ungkapan di atas termasuk HADITS PALSU (hadits maudhu’). Maknanya pun tidak seperti dipahami kebanyakan orang. makna yang tepat adalah Hendaklah kita semangat dalam menggapai akhirat dan tak perlu tergesa-gesa dalam mengejar dunia.
Apa Benar Ungkapan Tersebut?
Kalau kalimat kedua, jelas benarnya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok. Kalimat tersebut memotivasi kita agar memperhatikan amalan untuk akhirat kita. Hendaklah kita mempersiapkan diri untuk akhirat kita. Adapun kalimat bagian pertama, bekerjalah di dunia seakan-akan engkau hidup selamanya, dari satu sisi ungkapan ini benar, dari sisi lain tidak benar.
Makna yang benar, jika dipahami bahwa perlu mengambil sebab, perlu usaha juga dalam mencari rezeki dan serius dalam mengais rezeki di muka bumi dengan senantiasa mengharap ridha Allah.
Atau bisa juga makna yang benar adalah kita diperintahkan untuk tidak cepat-cepat (tergesa-gesa) mencari dunia, beda dengan amalan untuk akhirat. Hendaklah bersabar dalam mencari dunia. Dunia yang tidak didapat hari ini, carilah besok. Makna seperti ini beda dengan yang dipahami kebanyakan orang yang menyangka bahwa dunia hendaklah semangat untuk dicari, hingga lupa akhirat.
Sehingga makna yang keliru dari ungkapan di atas adalah jika mengajak mati-matian dalam mencari dunia.
Yang tepat dunia memang kita cari, namun bukan jadi tujuan. Dunia hanyalah sarana untuk akhirat kita. Karena di dunialah tempat kita beramal shalih, namun bukan hidup selamanya.
Ungkapan “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya”, maksudnya adalah apa yang tidak selesai hari ini dari urusan dunia, selesaikanlah besok. Yang tidak bisa selesai besok, selesaikanlah besoknya lagi. Jika luput hari ini, masih ada harapan untuk besok.
Adapun untuk urusan akhirat, maka beramallah untuk urusan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok. Maksudnya kita diperintahkan untuk segera melakukan amalan shalih, jangan menunda-nundanya. Anggap kita tak bisa lagi berjumpa lagi dengan esok hari. Bahkan kita katakan, bisa jadi kita mati sebelum esok tiba. Karena siapa pun kita tak mengetahui kapan maut menghampiri.
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menyatakan,
أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang hari. Jika engkau berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu sebelum datang matimu.”
Bukhari
kesimpulannya, ungkapan tersebut salah alamat jika disandarkan pada Rasulullah ﷺ. Lalu maknanya pun bukan seperti dipahami kebanyakan orang untuk terus mengejar dunia hingga kurang semangat menggapai akhirat. | Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb • Fatawa Musthalah Al-Hadits, Syarh Al-Hadits wa Al-Hukmu ‘alaiha
Lalu bagaimana seharusnya yang difahami dan dilakukan oleh kita ?
Panduan mengenai bagaimana kita memposisikan diri dalam kehidupan dunia sebenanrnya sudah Allah jelaskan dalam Alquran
Mari kita simak bagaimana Alquran dan Hadits menjelaskan hal tersebut :
Pertama, Dalam persoalan dunia kita diperintahkan oleh Allah untuk berjalan sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Mulk ayat 16
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“ Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Al-Mulk: 16
Dalam ayat di atas kita diperintahkan oleh Allah untuk berjalan ke mana pun yang kita kehendaki mengelilingi semua daerah. Adapun tujuan berjalannya kita adalah untuk keperluan mata pencaharian dan perniagaan. Allah tidak memerintahkan kita berlari untuk mencari mata pencaharian namun hanya memerintahkan untuk berjalan karena pada dasarnya segala upaya yang kita lakukan tidak dapat memberi manfaat bagi kita kecuali bila Allah memudahkannya bagi kita. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah dari Umar Bin Khatab :
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يقول: “لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وتَرُوح بِطَانًا
Umar Bin Khattab mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ. bersabda: Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Dia akan memberimu rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung; burung pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan pulang di petang hari dalam keadaan perut kenyang.
Hd Masih Mau’ud as bersabda: Allah Taala berfirman bahwa Dia akan memberikan ganjaran kepada orang yang beramal, “Fa ammaa man thaghaa wa aatsaral hayaatad dun-yaa fa-innal jahiima hiyal ma’waa — [maka ada pun orang yang durhaka, dan lebih mementingkan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka itulah tempat tinggalnya – An-Nazi’at, 38-40). Yakni: “Orang yang tidak mengikuti perintah-perintah-Ku, maka Aku akan memasukkannya ke dalam neraka dengan buruk sekali. Dan neraka itu akan menjadi tempat tinggal baginya.”
“Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii wa nahan nafsa ‘anil hawaa — dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya” – An-Nazi’at, 41-42).
Kedua, Urusan melakukan kebaikan, perintahnya adalah “Berlombalah!” sebagaimana firman Allah :
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan.”
Al-Baqarah: 149
Hd. Khalifathul Masih V aba: Wahai orang-orang yang telah beriman, hiasilah diri kamu dengan taqwa. Dunia ini, warna-warninya, tarikan dan kenyamanannya hendaknya tidak menjadi segalanya bagi kamu. Sebaliknya, kalian harus melihat apa yang telah kalian lakukan untuk mencari ridha Allah? Sebab ini adalah perbuatan yang akan bermanfaat dalam kehidupan berikutnya (akhirat), sementara tarikan, kenyamanan dan kesenangan di dunia ini akan tetap tinggal di sini (di dunia).
Ketiga, Dalam persoalan Akhirat Allah memerintahkan kita untuk berjalan cepat (bergegas) sebagaimana firmannya dalam Al-Jumuah ayat ke-10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
Pada ayat tersebut terdapat kalimat فَاسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ (maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah) yakni bergegaslah menuju dzikir kepada Allah, bergegas untuk urusan akhirat yaitu mengikuti khutbah dan shalat Jum’at di masjid. Bergegas dalam persoalan akhirat yang mana itu lebih baik dan lebih kekal karena barangsiapa yang lebih mengutamakan dunia dari pada akhirat pada dasarnya merugi dengan kerugian yang sebenarnya padahal mengira akan mendapatkan keuntungan.
Dalam surat Al Qasas ayat 79 Allah mengingatkan manusia dengan kalimat
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan carilah dari apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia ini.”
Maksudnya adalah gunakanlah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu berupa harta yang melimpah dan kenikmatan yang panjang dalam berbuat taat kepada Allah serta bertaqarrub kepada-Nya dengan berbagai amal-amal yang dapat menghasilkan pahala di dunia dan di akhirat.
Hd. Khalifathul Masih V aba: Bukanlah suatu keburukan mencari hal-hal duniawi dan melakukan kegiatan-kegiatan yang baik bagi kesehatan atau melakukan hal yang sesuai dengan ketertarikan masing-masing. Akan tetapi kita tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi tersebut mendominasi kehidupan kita atau menjadikannya sebagai tujuan hidup kita. Kita tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi tersebut mengalihkan perhatian dari tujuan utama kita, yaitu senantiasa mengingat Allah taala dan mencari qurub Ilahi.
Jangan pernah menganggap bahwa mengejar dunia sebagai sarana untuk memperoleh keselamatan atau keberhasilan. Tanpa karunia Allah Taala hal yang kelihatan baik pun bisa mendatangkan bahaya pada manusia.
Baca juga: Ats Tsiqatu Bin Nafs: Kenali Diri Agar Bisa Mensyukurinya
Keempat, dalam persoalan taubat Allah memerintahkan kita untuk berlari, bukan hanya sebatas berjalan cepat apalagi berjalan biasa, sebagaimana firmannya dalam surat Ad-Dzariyat ayat 51:
فَفِرُّوا إِلَى اللهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.”
Ayat tersebut merupakan perintah Allah untuk lari (mendekat) kepadaNya, maksudnya lari dan menjauh dari semua yang dibenci Allah secara lahir dan batin menuju yang dicintai Allah secara lahir dan batin, lari dari kebodohan menuju ilmu, lari dari kekufuran menuju keimanan, lari dari kemaksiatan menuju ketaatan, lari dari kelalaian menuju kewasapadaan, Lari dari Dosa-dosa menuju taubatan nasukha.
Hd. Khalifathul Masih V aba: Maka dari itu, adalah kewajiban orang beriman untuk mengkhawatirkan keadaanya pada hari kiamat nanti dan juga agar dapat meraih kasih sayang Tuhan, bukan sebaliknya, yang sibuk mengkhawatirkan hal-hal keduniawian. Satu-satunya tuhan kita adalah Dia, Allah yang merupakan Tuhan kita yang sejati.
Ingatlah, hanya Tuhan-lah yang setia, semua akan meninggalkan kalian tapi Tuhan tidak akan meninggalkan kalian selama kalian tidak meninggalkan-Nya.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Allah memberikan pedoman kepada manusia kapan saat berjalan, kapan saat bergegas dan kapan saat berlari dalam kehidupan di dunia.
Apabila kita cermati ayat Al-Quran bahwa untuk urusan dunia, dalam Surat Al-Mulk ayat 16 Allah menggunakan lafadz (فَامْشُو) yakni Berjalan. Untuk Urusan amal akhirat dalam surat Al Jumu’ah ayat 10 Allah menggunakan lafadz (فَاسْعَوْ) yakni berjalan cepat. Sedangkan Untuk urusan bertaubat dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 51, Allah menggunakan lafadz (فَفِرُّو) yang bermakna berlari.
As-Sa’di menafsirkan :
“Maksudnya ialah berlari menjauh dari segala perkara yang dibenci Allah baik yang nampak maupun tidak nampak menuju kepada perkara yang Dia cintai baik perkara yang nampak maupun yang tidak nampak. Berlari menjauh dari kebodohan menuju ilmu, dari kekafiran menuju keimanan, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari kelalaian menuju mengingat Allah.”
Beliau melanjutkan :
“Allah menamakan kembali kepada-Nya dengan berlari, karena kembali kepada selain-Nya malah terdapat berbagai hal yang ditakuti dan hal-hal yang tidak disukai. Sedangkan kembali kepada-Nya terdapat berbagai hal yang disukai, keamanan, kebahagiaan dan keberuntungan.”
Hal ini juga selaras dengan penuturan Al-Baghawi yang menyimpulkan tafsir ayat ini :
ففروا إلى الله: فَاهْرَبُوْا مِنْ عَذَابِ اللهِ إِلَى ثَوَابِهِ، بِالْإِيْمَانِ وَ الطَّاعَةِ
“Berlarilah dengan cepat, selamatkanlah diri kalian dari adzab Allah menuju ganjaran pahala-Nya dengan keimanan dan ketaatan.”
Mengapa Allah memberikan penekanan yang berbeda dalam kegiatan dunia dan akhirat? karena sejatinya orientasi kita adalah akhirat.
Hd Masih Mau’ud as bersabda: “[Memenuhi] hak-hak diri sendiri itu diperbolehkan namun membuat pelanggaran pada diri sendiri (berbuat dosa) itu tidak boleh.” Maka dari itu, seorang mukmin harus senantiasa mencamkan kata-kata ini dalam benaknya supaya kecintaan pada benda-benda materi tidak tumbuh sedemikian rupa sehingga membuatnya melupakan Tuhan.
Hd. Khalifathul Masih V aba: Ketenteraman hati tidak bisa diraih dengan perantaraan kebebasan duniawi atau dengan mengikuti gemerlap dunia. Ketenteraman hati hanya bisa diraih dengan mendekatkan diri pada Allah Taala dan senantiasa mengingat-Nya setiap saat.
Kita bisa melihat dan memperhatikan betapa banyak orang yang mengabaikan akhirat, kemewahan dan gemerlapnya dunia sering melalaikan manusia akan akhirat, mereka sibuk dan asyik dengan dunia, seolah-olah merasa bahwa akan tinggal selamanya di dunia yang fana ini. Mereka lupa bahwa mereka sedang berjalan menuju akhirat
Oleh karena itu, mari kita rubah orientasi kegiatan kita, bergegas dan berlarilah untuk urusan amal akhirat dan bertaubat, sedangkan untuk dunia cukup dengan berjalan saja. Insya Allah apabila orientasi kita adalah akhirat maka dunia akan mengikuti kita. Allah berfirman dalam Surah Asy-Syura ayat ke-21:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ
“Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat.”
Firman Allah SWT tersebut menegaskan bahwa kehidupan akhirat lebih penting dan lebih banyak manfaatnya bagi seorang Muslim jika ingin mengejarnya.
Pilihan antara hidup sukses atau gagal di akhirat, tergantung pada kepandaian dan ketepatan kita dalam memilih jalan hidup di dunia. Ingatlah, Rasulullah ﷺ pernah menerangkan bahwa akhirat jauh lebih penting daripada dunia. Beliau pernah bersabda, “Perbandingan dunia dengan akhirat, seperti seseorang yang mencelupkan jari tangannya ke dalam laut, lalu diangkatnya dan dilihatnya apa yang diperolehnya.” | Muslim
Di sini Rasulullah ﷺ ingin menegaskan betapa luar biasanya perbandingan akhirat dengan dunia. Dunia hanya sekedar sisa air yang tertinggal di jari sewaktu dicelupkan dan diangkat darinya, sedangkan laut yang luas itu ibarat akhirat yang kekal dan abadi.
Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda, “Barangsiapa yang kehidupan akhirat menjadi tujuan utamanya, niscaya Allah akan meletakkan rasa cukup di dalam hatinya dan menghimpun semua urusan untuknya serta datanglah dunia kepadanya dengan hina. Tapi barangsiapa yang kehidupan dunia menjadi tujuan utamanya, niscaya Allah meletakkan kefakiran di hadapan kedua matanya dan mencerai-beraikan urusannya dan dunia tidak bakal datang kepadanya, kecuali sekedar yang telah ditetapkan untuknya.” | Tirmidzi
Hd Masih Mau’ud as bersabda: “Allah Taala berfirman bahwa orang-orang ingkar adalah mereka yang menyukai kehidupan dunia dan menemukan ketenteraman di dalamnya. Mereka sama-sekali tidak merasakan perlunya bergerak menuju Allah Ta’ala. Firman-Nya: [Fahabithat ‘amaaluhum] falaa nuqiimu lahum yaumal- qiyaamati waznaa — (maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak adakan timbangan bagi mereka pada hari Kiamat – Al-Kahfi, 106).
Di dalam ayat ini tidak ada disinggung tentang dosa. Penyebab hapusnya amal mereka hanyalah karena lebih mengutamakan keinginan-keinginan dunia.
Derajat orang-orang semacam itu tidak ada artinya sedikit pun di sisi Allah, dan tidak pula kepada mereka akan diberikan tempat terhormat. Sebenarnya di dalam kehidupan yang penuh nikmat terdapat suatu setan yang selalu mengelabui manusia.
Oleh sebab itu, mari utamakanlah akhirat daripada dunia. Pentingkanlah hidup untuk akhirat daripada dunia. Insyaallah, jika kita niatkan hidup di dunia hanya untuk mencari ridho guna kebahagiaan di akhirat kelak, maka senantiasa Allah dengan janjinya akan menurunkan keberkahan dan kenikmatan kita di dunia,